Fatamorgana BIseksualitas



Saya adalah seorang biseksual. Mengetahui hal ini bukanlah sesuatu yang mudah. Saya telah mengetahui sejak kecil, akan tetapi saya baru mulai menerimanya sejak dua tahun lalu. Ketika itu, saya tidak dapat mengingat apakah saya menangis atau tidak, akan tetapi satu hal yang saya ingat adalah realisasi tersebut langsung menusuk ke dada saya. Saya, seorang perempuan yang tertarik tidak hanya kepada lelaki tetapi juga kepada perempuan, secara seksual maupun romantis, dengan persentase ketertarikan lebih dominan terhadap lelaki. Pada saat itu, saya tidak berani menceritakan hal ini kepada siapapun di dunia nyata, terutama kedua orang tua saya.

Orang tua saya merupakan sepasang Muslim moderat. Mereka memegang kepercayaan agama Islam dan taat dalam beribadah. Terdapat pandangan-pandangan mereka yang cukup didominasi oleh pemikiran agama Islam, tetapi mereka masih membandingkan hal-hal tersebut dengan keyakinan mereka sendiri. Saya juga meyakini agama Islam seperti orang tua saya. Saya juga masih melihat segala hal dari beberapa faktor, termasuk faktor agama. Saya juga beribadah. Akan tetapi, jika terdapat hal-hal yang diajarkan dalam Islam yang terkesan opresif, saya selalu memiliki pemikiran yang bertentangan dengan hal-hal tersebut, salah satunya mengenai spektrum LGBTQ+.

Saya menulis artikel-artikel mengenai LGBTQ+. Saya juga dengan lantang mendukung keberadaan spektrum LGBTQ+ di media sosial. Dalam media tersebut, ketika saya tidak berhasil meyakinkan para netizen dengan pandangan-pandangan dan pemikiran-pemikiran saya mengenai hak hidup LGBTQ+, saya selalu mengatakan agar setidaknya mereka menghormati spektrum LGBTQ+ sebagai manusia yang hidup dan memiliki hak-hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Mungkin Anda memperhatikan bahwa saya menggunakan istilah ‘spektrum’ dan bukan ‘komunitas’, hal ini saya lakukan karena ketika menggunakan kata ‘spektrum’, saya teringat dengan warna-warna pelangi yang indah dan merupakan warna dari bendera LGBTQ+ yang merupakan symbol cinta, kekuatan, dan kesatuan.

Saya hanya merasa percaya diri untuk menunjukkan seksualitas saya yang sebenarnya di dunia maya. Menurut saya, orang-orang di dunia maya cenderung memiliki pemikiran yang terbuka. Selain itu, mereka yang memiliki pemikiran kritis membuat saya lebih nyaman dalam mendiskusikan seksualitas saya kepada mereka. Saya merupakan salah satu pengguna Twitter dan LINE dengan frekuensi yang cukup intens. Tidak hanya untuk mengetahui informasi terbaru mengenai para idola, saya menggunakan Twitter untuk mendiskusikan tentang seksualitas saya dengan lebih lantang. Respons pengikut saya? Ketika pertama kali saya melela di akun Twitter saya, respons para pengikut saya sangatlah positif. “I’m proud of you!”, “You’re amazing and beautiful.”, “Your sexuality is valid, don’t let anybody else tell you otherwise.” Begitulah segelintir ciutan yang saya ingat. Mereka mendukung aksi melela saya di dunia maya. Saya pun merasa nyaman dan melihat Twitter sebagai sebuah wadah yang aman bagi saya. Semua orang di beranda saya merupakan orang-orang yang tidak mencemooh biseksualitas saya dan mereka menerima apa adanya. Bahkan, di Twitter sendiri saya menemukan banyak orang dengan berbagai macam orientasi seksual dan saya pun kagum kepada mereka karena memiliki kepercayaan diri untuk menunjukkannya ke dunia luar, kehidupan nyata – sesuatu yang belum bisa saya wujudkan.

Lain halnya dengan LINE. Saya mengikuti beberapa grup LINE, mulai dari grup yang membahas tentang selebritis hingga grup yang membahas tentang kesetaraan gender dan LGBTQ+. Tidak berbeda dengan Twitter, orang-orang di LINE memiliki pemikiran yang terbuka dan telah memiliki segudang informasi mengenai spektrum LGBTQ+. Di grup-grup tersebut juga banyak sekali diskusi mengenai LGBTQ+ bahkan beberapa anggota diantaranya termasuk dalam spektrum LGBTQ+. Saya juga tergabung dalam sebuah grup khusus spektrum LGBTQ+ dan saya sangatlah nyaman dan percaya diri untuk membahas seksualitas saya disana, karena semua anggota dalam grup tersebut menerima saya apa adanya. Beberapa dari anggota grup tersebut merupakan teman dekat saya, bahkan ada pula yang telah menjadi sahabat karib saya sejak lima tahun yang lalu. Di grup-grup tersebut, tidak jarang ada pula yang melela. Respons para anggota pun sangatlah positif. Waktu itu saya pernah mencoba melela di sebuah grup yang khusus membahas tentang selebritis favorit saya. Bisa dibilang saya merasa dekat dengan para anggota disana dan tidak sedikit dari mereka yang membahas tentang seksualitas mereka sendiri dalam grup ini. Ketika itu, hati saya berdebar dan kedua pipi saya panas, karena saya tidak pernah melela secara langsung kepada banyak orang (biasanya di Twitter saya hanya membahas tentang seksualitas saya tanpa mendeklarasikannya dalam kata-kata pengakuan khusus). Responnya? Mereka bangga dengan tindakan berani saya dan bisa dikatakan mereka masih merangkul saya sebagai seorang teman.


Saya baru berani melela mengenai seksualitas saya ke teman-teman dekat saya setahun setelah saya menerimanya. Orang pertama yang saya bicarakan tentang hal ini adalah teman dekat yang satu grup bersama saya di grup LGBTQ+ di LINE, jauh sebelum saya bergabung dengan grup tersebut. Ketika saya melela, saya selalu mengirimkan sebuah gambar kutipan yang diucapkan salah satu aktris Grey’s Anatomy (jika saya tidak salah). Saya pikir kutipan tersebut sangatlah pas dalam mendeskripsikan keadaan saya. Respon sahabat saya ini sangatlah positif. Dia bangga dengan tindakan saya. Orang kedua yang saya bicarakan tentang hal ini adalah sahabat saya di kampus. Ketika itu, kami sedang di perpustakaan kampus dan saya langsung menunjukan gambar tersebut sambil mengutarakan secara lisan. “Ya, terus?” seakan saya tidak sedang mengutarakan hal yang dapat mengancam nyawa saya beberapa detik lalu, sahabat saya menerima pengakuan saya apa adanya. Dia pun juga bangga dengan keberanian saya dan dia sempat berkata bahwa dia tidak kaget karena dia telah melihatnya sejak dulu pertama mengenali saya, meskipun saya pun bingung ciri apa yang ia lihat. Saya melela ke seorang teman dekat sejak SMA setelah mendiskusikan mengenai seksualitas. Pada awalnya, saya agak menyesal karena kami memiliki pandangan yang berbeda tentang orientasi seksual. Ia berpendapat bahwa hal ini dapat diubah dan hanya bersifat sementara. Meskipun begitu, dia masih bisa menerima saya apa adanya, hanya saja saya harus berhati-hati ketika menceritakan ini kepadanya. Saya juga melela kepada dua sahabat dekat saya. Satu menanyakan apakah saya hanya ‘bereksperimen’ saja dan saya bukanlah seorang biseksual yang sebenarnya. Dari hal itu, saya agak menyesali keputusan saya untuk melela. Sahabat saya yang kedua hanya merespon oke dan untuk menghindari kecanggungan, saya pun mengalihkan pembicaraan.


Dari pengalaman saya melela tersebut, saya sempat berpikir bahwa meskipun menjadi biseksual merupakan suatu orientasi seksual yang sah, akan tetapi masih terdapat beberapa orang yang menganggap bahwa biseksualitas merupakan sebuah ‘fase coba-coba’. Bisa dikatakan bahwa hal ini dapat dikategorikan sebagai sebuah tindakan bisexual erasure, atau penghapusan biseksualitas. Banyak stigma yang mengatakan bahwa seseorang menjadi biseksual atas dasar eksplorasi seksualitas saya. Banyak pula yang mengatakan bahwa seorang biseksual dapat tergabung dalam spektrum LGBTQ+ jika ia berada dalam suatu hubungan dengan pasangan sesama jenis, sehingga jika seorang biseksual berada dalam sebuah hubungan dengan pasangan lawan jenis maka akan tidak diacuhkan, dicemooh, seakan diasingkan dari spektrum. Stigma yang mengatakan bahwa seorang biseksual adalah serakah karena memiliki keterkaitan seksual dengan dua jenis kelamin dan hal tersebut dapat menjadi sebuah alat untuk perselingkuhan sangatlah salah. Pemikiran untuk berselingkuh tidak muncul dari suatu orientasi seksual, melainkan dari pemikiran hati nurani individu masing-masing, sehingga suatu orientasi seksual tidak menjustifikasikan bahkan membuat suatu perbuatan yang salah menjadi suatu perbuatan yang benar. Stigma-stigma di atas membentuk sebuah bayangan fatamorgana terhadap biseksualitas, seakan orientasi seksual ini tidaklah nyata. Saya seorang biseksual dan saya adalah contoh nyata. Stigma-stigma negatif mengenai seksualitas saya tidak mengubah kenyataan bahwa biseksualitas benar adanya. Orientasi seksual saya nyata dan sah, bukan suatu bayang-bayang air di tengah padang pasir belaka. Suarakita
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment