Pencegahan dan penanggulangan HIV & AIDS dari tahun ke tahun mengalami kemajuan seiring berkembangnya teknologi. Salah satunya dengan menggunakan PrEP (Pre-Exposure Prophylaxis), yaitu penggunaan obat antiretroviral (ARV) pada orang yang berstatus HIV negative agar tidak terinfeksi HIV. Untuk mendiskusikan lebih lanjut apa dan bagaimana PrEP ini, PKBI DIY bersama FDKAY (Forum Diskusi Kultural AIDS Yogyakarta) mengadakan diskusi kultural yang membahas tentang “Pre-Exposure Prophylaxis (PrEP)”. Diskusi ini dilaksanakan pada tanggal 09 Mei 2017 di Ruang Multimedia PKBI DIY dengan narasumber dr. I Putu Yuda Hananta yang merupakan mahasiswa yang sedang mengambil program doktoral di Amsterdam, Belanda.
Tujuan dari diskusi ini untuk mempelajari bagaimana pengelolaan program PrEP, memahami rekomendasi terbaru tentang PrEP, dan mengidentifikasi kelompok yang cocok mendapatkan PrEP. Program PrEp merupakan salah satu intervensi biomedis yang dilakukan untuk pencegahan infeksi HIV (Treatment as Prevention). Intervensi biomedis lainnya adalah diagnosis dan terapi infeksi menular seksual, PMTCT, sirkumsisi, prosedur transfusi darah, suntikan aman dan mikrobiosida.
Salah satu sasaran metode PrEP adalah pasangan sero-diskordan, yakni pasangan yang salah satunya telah terinfeksi HIV. PrEP ini sesuai diperuntukkan bagi pasangan yang berstatus HIV negative, selain tetap memakai kondom secara konsisten. Program PrEP ini awalnya dimulai dari salah satu penelitian di Amerika pada bulan Mei 2010. Kemudian pada tahun 2011 lembaga penelitian dan pengembangan di Amerika melakukan tindak lanjut dari penelitian ini dan mengembangkan panduannya untuk tata laksana program PrEP. Baru di bulan Mei 2014 Program PrEP diakui sebagai salah satu pencegahan HIV di Amerika. Di negara Perancis juga dilakukan penelitian tentang PrEP ini, dengan mempergunakan IPERGAY bagi populasi kunci LSL. Hasil dari penelitiannya ini, ternyata memang efektif untuk pencegahan infeksi HIV karena terjadi pengurangan risiko infeksi hingga 86%. Hasil penelitian yang hampir sama ini juga ada di negara-negara Afrika. Ditemukan bahwa penurunan infeksi risikonya hingga 60-70% pada orang-orang yang mengikuti Program PrEP. Selain penurunan risiko, temuan lain dari penelitian-penelitian tersebut diketahui bahwa efektifitasnya tidak berbeda berdasarkan usia, dengan demikian baik yang mengkonsumsi orang muda atau orang tua tetap efektif. Jenis kelamin juga tidak mempengaruhi efektifitasnya, baik laki-laki atau perempuan sama-sama efektif untuk mengikuti Program PrEP. Hasil yang bervariasi adalah pada level proteksinya karena tergantung ketaatan dalam meminum obatnya. ARV yang dikonsumsi dalam Program PrEP ini juga harus diminum teratur setiap harinya. Jika tidak taat dalam meminum obat, maka dimungkinkan pada saat lalai tersebut ada risiko terpapar virus HIV. Adanya Program PrEP ini, kadang menimbulkan kekhawatiran bahwa nanti bisa menimbulkan perilaku yang semakin berisiko, oleh karena sudah merasa aman, terlindungi oleh ARV yang telah diminumnya.
Gambaran tata laksana dalam PrEP, pertama-tama secara klinis harus melakukan tes HIV untuk mengetahui status HIV-nya dan fungsi ginjalnya normal. Pada tahap selanjutnya, dijelaskan KIE yang meliputi keamanan dan efek samping PrEP, keterbatasan, adherence, gejala HIV akut (serokonversi), riwayat pasangan, riwayat sosial: rumah, ekonomi, kesehatan mental, KDRT. Proses dari tahap klinis dan KIE di atas dilakukan secara rutin dan dipantau. Pemberian resep untuk PrEP disarankan tidak lebih dari 90 hari, karena pasien bisa secara rutin datang ke layanan untuk dipantau keadaaanya serta konsistensi penggunaan kondom.
Dari paparan yang diberikan oleh dr Yuda, memancing diskusi tentang bagaimana penggunaan PrEP terhadap IMS. Dijelaskan bahwa, PrEP memang efektif untuk pencegahan infeksi HIV tetapi tidak untuk IMS. Dengan demikian, penggunaan kondom secara konsisten tetap perlu.
Di akhir diskusi, salah satu peserta menyatakan bahwa hingga saat ini Program PrEP masih menjadi kontroversi karena beberapa kelompok populasi kunci masih belum menyetujui program ini. Meski Kemenkes beberapa waktu yang lalu telah menginisiasi diskusi tentang ARV berbayar yang ditargetkan untuk ARV 2 atau 3, ODHA dari luar negeri dan kemungkinan untuk Program PrEP. Tetapi hingga saat ini Kemenkes belum memiliki kebijakan operasionalnya. Oleh karena program ini cenderung diarahkan bagi LSL dan Pekerja seks maka program ini kemungkinan menjadi lebih sulit dikembangkan karena Kementerian Kesehatan dengan memberlakukan Permenkes No. 43 Tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Minimal justru menghapus tiga sub-populasi yang selama ini sangat rentan dengan penularan HIV yaitu Lelaki yang berhubungan Seks dengan Lelaki lain (LSL), Wanita Pekerja Seks (WPS) dan Pria Berisiko Tinggi (Pria Pelanggan Pekerja Seks). kebijakanaidsindonesia
Blogger Comment
Facebook Comment