Penggerebekan Gay: Sentimen Homofobia dan Regulasi 'Bias' Norma


Undang-Undang Pornografi yang dijadikan basis polisi dalam menindak kaum LGBT dinilai "bias" lantaran hanya mengambil sudut pandang kaum heteroseksual. Di sisi lain, insiden penggerebekan sebuah spa di Jakarta yang diduga sebagai wahana prostitusi gay dianggap memperparah sentimen homofobia.

Menurut aktivis hak sipil Lies Marcoes, tindakan polisi dalam menggerebek sebuah spa di Jakarta yang diduga menjadi tempat prostitusi kaum gay dinilai tidak adil lantaran aparat menggunakan cara pandang kaum heteroseksual.

"Karena pendekatannya heteronormativitas, jadi cara dia untuk menegakkan hukum pun bias heteronomativitas, yang benar adalah yang hetero. Dia tidak menggunakan pendekatan bahwa ini adalah rights (hak asasi) seseorang untuk punya preference (kecenderungan) dalam memilih pasangannya secara dewasa," ujar Lies kepada wartawan, Minggu (08/10).

Semestinya, lanjut Lies, jika tidak terjadi pelanggaran hukum maka tidak perlu penegakkan hukum yang basis penindakannya adalah cara pandang yang heteronormatif.
"Bisa dikatakan tebang pilih, karena dengan cara seperti itu sebetulnya karena aturannya tidak terlalu jelas. Ada peluang yang sangat berasa terjadinya apa yang kita sebut sebagai, katakan lah korupsi, jadi melakukan pemerasan karena potensi dikriminalkan itu besar," cetusnya.

Senada, pegiat LGBT Dede Oetomo menilai aksi penggerebekan yang dilakukan oleh polisi diskriminatif dan memperparah sentimen homofobia.

"Menurut saya persoalannya adalah polisi bertindak tidak adil. Misalnya, dia tidak merazia tempat-tempat yang [digunakan oleh orang-orang] hetero, jadi memang niatnya sudah tidak benar, sudah mau diskriminatif, niatnya sudah homophobic," jelas Dede.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menampik tudingan tersebut. Menurutnya, aparat kepolisian juga menindak tindakan asusila yang dilakukan oleh kaum heteroseksual.

Tercatat 51 orang yang diamankan dalam penggerebekan di spa dihadirkan dalam konferensi pers yang digelar Sabtu (07/10).

"Kita menemukan, kita tangkap juga, kita proses. Jadi tidak ada yang namanya diskriminasi, karena undang-undang di Indonesia kan tidak memperbolehkan. Tapi kalau di Indonesia kan memang melarang, dan itu adalah masalah sosial di Indonesia yang belum menerima hal seperti itu. Jadi tetap saja orang-orang, masyarakat yang melihat itu tetap risih," jelas Argo.

Insiden kelima sepanjang 2017
Penggerebekan spa di Jakarta Pusat tercatat sebagai insiden kelima yang menimpa kaum LGBT di ruang privat sepanjang 2017. Padahal salah satu butir Nawacita pemerintah Jokowi justru menghapuskan diskriminasi, termasuk kepada yang berorientasi seksual berbeda.
Pada akhir April lalu, polisi menggerebek spa yang disebut sebagai tindakan asusila kelompok LGBT di sebuah hotel di Surabaya, dan menetapkan delapan orang sebagai tersangka. Sebanyak 14 orang di antara mereka ditangkap dan diperintahkan melakoni tes HIV tanpa persetujuan mereka.

Empat belas orang diciduk dan delapan di antaranya menjadi tersangka dalam apa yang disebut polisi pesta gay di Surabaya, April lalu.

Di Aceh, dua pria yang ditangkap oleh warga karena dituding melakukan hubungan seks sejenis pada akhir Maret lalu, telah dihukum masing-masing 85 kali cambuk oleh majelis hakim Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh pada akhir Mei.
Di bulan yang sama, dilakukan penggerebekan terhadap 141 orang di pusat kebugaran di Jakarta Utara. Polres Jakarta menetapkan 10 orang sebagai tersangka yang disebut "membantu tindakan asusila."
Pada 8 Juni, Kepolisian di Medan menangkap lima orang yang "yang diduga lesbian", membagikan video penangkapan mereka, dan merilis nama mereka ke wartawan.
Sementara pada awal bulan lalu, kepolisian di Jawa Barat memasuki sebuah rumah yang dihuni 12 perempuan yang diduga lesbian dan mengusir mereka.
Dan terbaru, polisi mengamankan 51 orang yang diciduk di tempat spa T1 di Jakarta Pusat, yang diduga menyelenggarakan prostitusi kaum gay pada Jumat malam (06/10). Mereka terdiri dari 44 warga negara Indonesia dan tujuh warga negara asing.

Dalam penggerebekan terbaru, polisi mengamankan tujuh WNA asal China, Singapura, Thailand dan Malaysia.

Enam tersangka yang 'membantu tindakan asusila'
Polda Metro Jaya kemudian menetapkan enam orang sebagai tersangka. Mereka adalah pemilik dan karyawan tempat spa tersebut. Lima di antara mereka sudah ditahan, sementara satu lainnya masih diburu.
Argo Yuwono menerangkan, mereka dikenai Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pasal 30 juncto pasal 4 ayat 2 yaitu membantu tindakan asusila dan/atau Pasal 296 KUHP.
"Undang-undang yang ada adalah UU Pornografi yang menjerat itu, ancamannya enam tahun," jelas Argo kepada BBC Indonesia.
Pasal 4 ayat 2 UU Pornografi sendiri menyebut, "Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang: menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; menyajikan secara eksplisit alat kelamin; mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual."

Lalu bagaimana nasib pengunjung spa yang digerebek pada waktu itu? Menurut Argo, mereka sempat menginap di kepolisian untuk dimintai identitas dan keterangan, lalu kemudian dipulangkan pada hari Sabtu.
"Sudah kita pulangkan. Jadi kita periksa, kita foto, kita identifikasi -dia siapa, dari mana -setelah itu selesai, baru kita pulangkan, karena yang kita jerat UU Pornografi adalah yang menyediakan tempat untuk melakukan kegiatan pornografi itu. [Mereka] kita proses sebagai saksi saja," ujar dia.
Kendati begitu, Lies Marcoes, yang juga ahli kajian Islam ini, menilai basis hukum penggerebekan kaum gay tersebut tidak tepat lantaran tidak ada subjek hukum yang menunjukkan mereka melakukan pornografi atau pornoaksi. Apalagi, mereka melakukan aktivitasnya di ruang privat.
"Di spa, semua juga pergi ke spa, bagaimana mungkin lalu dituduhkan sebagai pornografi kecuali mereka memang mempertontonkan hal-hal yang menunjukkan aktivitas porno yang mengganggu publik. Spa di dalam bangunan lho, di dalam ruangan tertutup, tidak di tempat publik. Jadi tidak ada yang terganggu semestinya, kecuali memang kerjaannya polisi ngintip-ngintip begitu," tegas Lies.

Muncul gelombang kebencian terhadap homoseksualitas, dan beberapa pejabat tinggi negara dan pemerintah pun ikut melontarkan pernyataan-pernyataan bernada diskriminatif.

Sulit tagih janji Jokowi
Dede Utomo, yang juga pendiri kelompok LGBT GAYa NUSANTARA, menilai insiden terhadap LGBT yang terjadi belakangan semakin menunjukkan gerakan intoleransi yang semakin kuat, baik di elit negara maupun elit agama.
"Dan itu memang di polisi menjadi kegiatan yang agak favorit mereka, bisa menjadi credit point kalau misal menggerebek seperti itu, karena menyelematkan bangsa dari moral yang gitu.
"Tapi sebetulnya dari segi fairness dan keadilan, mereka sudah mengincar satu kelompok yang sebetulnya melakukan sesuatu dalam privasinya. Itu yang menjadi persoalan," tutur Dede.
Dengan iklim antikeberagaman yang terjadi sekarang, ia merasa semakin sulit menagih janji Jokowi untuk menghapuskan diskriminasi terhadap LGBT.

Homoseksualitas dan LGBT bukan merupakan hal yang ilegal di Indonesia, dan terdapat tradisi dan budaya LGBT yang hidup dan penuh warna di berbagai pelosok negeri.

"To be fair, kayaknya dia memang presiden sipil di sistem yang masih dikuasai angkatan militer lama dan kalau pun dia niat akan mengubah pun agak susah, dan bahkan jadi liability untuk dia kalau dia terlalu rajin untuk mengurusi," kata Dede.
Lalu bagaimana solusi mengatasi persoalan tersebut? Dede menyebut para aktivis LGBT tengah menyusun rencana untuk berdialog dengan aparat kepolisian.
"Sebetulnya intinya adalah memang kami yang dari aktivis bagaimana bekerja dengan polisi, di tingkat lokal bisa sebetulnya kalau dilakukan dengan baik ya, itu masih bisa kok diajak bicara. Jadi menjelaskan bahwa tidak ada gunanya," imbuhnya.

"Memang tugasnya polisi untuk menindak yang melanggar hukum. Nah hukumnya sendiri bisa kita persoalkan. Itu banyak masalahnya," tukasnya. BBC
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment