Kampanye menuju kesetaraan sosial dalam masyarakat sangat bergantung pada edukasi fakta dan berhentinya penyebaran info yang salah tentang beberapa kondisi yang mengalami diskriminasi, khususnya orang-orang homoseksual — gay dan lesbian.
Salah satu tantangan terbesar untuk membantu masyarakat lebih memahami LGBT adalah untuk mencoba memahami gagasan besarnya, melampaui sejumlah informasi ambigu yang banyak beredar. Dalam rangka memiliki dialog yang sehat tentang isu-isu LGBT, penting untuk mengakhiri kebohongan, stereotip, mitos, dan kesalahpahaman.
Apa itu homoseksualitas?
Homoseksualitas adalah ketertarikan emosional, romantis, intelektual, dan/atau seksual pada orang-orang dari gender yang sama. Istilah homoseksual memiliki akar medis dari pergantian abad terakhir (awal 1900-an) dan kebanyakan orang sekarang biasanya menggunakan istilah gay dan lesbian sebagai gantinya. ‘Gay’ umumnya digunakan untuk menggambarkan pria yang tertarik pada pria, dan ‘lesbian’ untuk wanita yang tertarik pada wanita.
Apakah menjadi gay normal?
Orang-orang gay, lesbian, atau transgender (LGBT) adalah anggota dari setiap komunitas masyarakat. Mereka beragam, datang dari semua lapisan masyarakat, dan termasuk orang-orang dari segala usia, ras dan etnis, status sosial ekonomi, dan dari beragam penjuru daerah. Kita semua mengenal sejumlah orang LGBT, apakah kita menyadarinya atau tidak.
Ada beberapa contoh dalam berbagai teks-teks agama yang bisa dan telah digunakan untuk melawan homoseksualitas. Beberapa pemimpin dan gerakan agama memilih untuk menggunakannya; lainnya percaya bahwa teks-teks ini adalah refleksi dari kebiasaan sosial dari waktu pada saat itu, tidak berkaitan dengan identitas dan hubungan LGBT seperti yang kita tahu saat ini, dan tidak harus diterjemahkan secara harfiah ke dalam kebijakan untuk zaman kontemporer.
Perilaku seks sesama gender dan fluiditas gender juga tercatat muncul di beragam kerajaan hewan (pinguin, lumba-lumba, bison, angsa, jerapah, hingga primata; hanya beberapa dari banyak spesies yang kadang-kadang berpasangan dengan mitra sesama jenis) dan dari setiap kebudayaan yang dikenal di dunia (lukisan batu prasejarah di Afrika Selatan dan Mesir, teks-teks medis India Kuno, dan literatur dari rezim pemerintahan Ottoman, misalnya).
Kapan seseorang pertama kali tahu bahwa ia homoseksual?
Seseorang bisa menyadari orientasi seksual dan identitas gender di berbagai momen dalam hidup mereka. Sementara beberapa orang menyadari preferensi seksual mereka sejak usia dini, orang lain baru mulai memahami identitas gender dan orientasi seksual mereka di usia dewasa. Penting untuk dicatat bahwa tidak ada satu hal/kejadian yang dialami dalam kehidupan yang bisa ‘membuat’ seseorang menjadi gay, lesbian, atau biseksual.
Meskipun suatu peristiwa dalam kehidupan dapat membantu mereka menyadari identitas gender dan orientasi seksual, mereka tidak perlu mengalami pengalaman seksual terlebih dahulu untuk menyadari orientasi seksual mereka. Sama halnya dengan laki-laki heteroseksual yang tahu bahwa ia tertarik pada wanita, meskipun ia masih perjaka. Atau seorang wanita heteroseksual tahu bahwa dia tertarik pada pria, meskipun masih perawan. Mereka tahu saja. Sama halnya dengan gay, lesbian, dan biseksual.
Apa yang menyebabkan homoseksualitas?
Faktor-faktor yang menentukan orientasi seksual adalah fenomena kompleks. Ada pemahaman yang berkembang bahwa manusia memiliki seksualitas dasar yang dapat dinyatakan dalam berbagai hubungan: homoseksual, biseksual, dan heteroseksual. Meskipun penyebabnya tidak diketahui, beberapa peneliti percaya orientasi seksual dasar seorang individu cenderung muncul pada saat lahir.
Jika saya adalah pria “normal”, bisakah suatu saat nanti menjadi gay?
Begitu sudah terbentuk, orientasi seksual dan/atau identitas seksual cenderung tidak berubah.
Banyak orang berpikir bahwa homoseksualitas dan heteroseksualitas berada di kedua ujung bertolak belakang dari spektrum seksualitas, dengan biseksualitas berada di tengah. Pada kenyataannya, seksualitas manusia jauh lebih kompleks. Sebagai contoh, beberapa pria mungkin menganggap diri mereka sebagai heteroseksual namun memiliki daya tarik homoseksual (baik itu secara intelektual, emosi, atau platonik) terhadap laki-laki lain. Ada juga sejumlah kecil pria yang hanya mencari keintiman fisik dengan laki-laki lain. Hal ini dapat dianggap sebagai perilaku seksual murni dan orang-orang ini mungkin tidak selalu mengidentifikasi diri mereka sebagai gay. Demikian juga, banyak orang gay tidak perlu mengalami keintiman fisik dengan pria gay lain untuk menunjukkan orientasi seksual mereka.
Apakah homoseksualitas sebuah gangguan kejiwaan?
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), dilansir dari Jakarta Post, mengklasifikasikan homoseksualitas, biseksualitas, dan transgender sebagai kondisi gangguan mental, yang dikatakan dapat disembuhkan melalui pengobatan yang tepat. Akan tetapi, banyak penelitian besar, terpisah, dan terbaru menunjukkan bahwa orientasi seksual terjadi secara alami.
Bahkan, penelitian menunjukkan bahwa upaya untuk mengubah orientasi seksual — disebut “terapi konversi” atau “terapi reparatif” — bisa berbahaya, dan terkait dengan depresi, bunuh diri, kecemasan, isolasi sosial, dan penurunan kapasitas untuk keintiman. Untuk alasan ini, buku panduan psikitari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) tidak lagi mengklasifikasikan orang-orang lesbian, gay, biseksual, atau transgender sebagai gangguan kejiwaan. Homoseksualitas pertama kali tercantum dalam DSM sebagai kondisi kejiwaan tahun 1968, dan dihapus pada tahun 1987. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kemudian menyusul untuk menghapuskan homoseksualitas tahun 1992.
Namun, seorang individu yang mempertanyakan orientasi seksualnya mungkin mengalami kecemasan, ketidakpastian, kebingungan, dan rendah diri di antara banyak emosi lainnya. Ketika emosi ini tidak ditangani dengan benar, mereka dapat menyebabkan depresi.
Apakah menjadi gay adalah pilihan gaya hidup?
Meski beberapa mengklaim bahwa menjadi gay adalah sebuah pilihan, atau bahwa homoseksualitas dapat disembuhkan, bukti ilmiah yang tersedia adalah ketertarikan sesama jenis ternyata merupakan hasil dari pengaruh genetik dan biologis. Dilansir dari Time, terobosan besar pertama yang menyanggah bahwa “homoseksualitas adalah pilihan hidup” dibuat oleh neuroscientist Simon LeVay dalam studinya tahun 1991. Ia menemukan bahwa sebuah area dalam hipotalamus otak berkaitan dengan seksualitas, INAH3, berukuran lebih kecil pada pria dan wanita gay dibandingnkan dengan orang-orang heteroseksual. Tahun berikutnya, peneliti UCLA menemukan adanya hubungan di daerah lain dari otak yang berhubungan dengan seksualitas, bagian tengah potongan sagital komisura anterior, 18 persen lebih besar pada pria gay daripada wanita heterseksual dan 34% lebih besar jika dibandingkan dengan pria “normal”.
Gen dan hormon memiliki pengaruh pada pembentukan orientasi seksual
Tidak ada studi telah menemukan spesifik “gen gay” yang dipercaya bisa membuat seseorang menjadi gay. Tetapi beberapa gen dapat meningkatkan kemungkinan seseorang menjadi gay. Misalnya, dilansir dari American Psychiatric Association (APA), sebuah studi tahun 2014 di jurnal Psychological Medicine menunjukkan bahwa gen pada kromosom X (salah satu kromosom seks) yang disebut Xq28 dan gen pada kromosom 8 tampaknya ditemukan dalam prevalensi lebih tinggi pada pria gay. Penelitian tersebut, yang melibatkan lebih dari 400 pasang saudara kandung homoseksual, diikuti laporan tahun 1993 oleh ahli genetika Dean Hamer menyarankan adanya “gen gay.” ini dan sejumlah penelitian lain menunjukkan bahwa gen memainkan peran, meskipun tidak harus satu-satunya, dalam menentukan orientasi seksual. Lebih lanjut, studi anak kembar menunjukkan, bahwa urutan gen tidak bisa menjadi penjelasan lengkap. Misalnya, kembar identik seorang pria gay, meskipun memiliki genom yang sama, hanya memiliki kesempatan 20-50% dalam dirinya untuk menjadi gay. Dan seperti kebanyakan sifat ditentukan secara genetik, ada kemungkinan bahwa lebih dari satu gen memainkan peran.
Ada bukti lain yang menunjukkan paparan hormon tertentu selama perkembangan janin juga memainkan peran. Sebuah ulasan sains tahun 2011 oleh peneliti Belgia Jacques Balthazart terbitan jurnal Endocrinology menyimpulkan bahwa “subjek homoseksual, rata-rata, terkena kondisi endokrin atipikal selama perkembangan,” dan bahwa “perubahan endokrin yang signifikan selama hidup embrio sering mengakibatkan peningkatan insiden homoseksualitas”. Itulah mengapa beberapa telah menyarankan bahwa epigenetik mungkin terlibat. Selama perkembangan, kromosom tunduk terhadap perubahan kimia yang tidak mempengaruhi urutan nukleotida tetapi dapat mengaktifkan atau menonaktifkan gen.
Selain itu, faktor genetik dan hormonal umumnya berinteraksi dengan faktor lingkungan yang belum ditentukan, meskipun tidak ada bukti nyata dari pola pengasuhan orangtua yang salah, trauma masa kecil, atau paparan terhadap individu gay lain dapat menyebabkan homoseksualitas.
Dapatkah saya mengetahui apa bedanya pria yang gay dan bukan?
“Pria yang bertindak dengan cara yang feminin pasti gay. Wanita maskulin dengan potongan rambut cepak dan suara berat berarti lesbian.” Ini anggapan yang dipercaya banyak orang.
Bertentangan dengan kepercayaan umum, Anda tidak bisa membedakan apakah seseorang homoseksual atau biseksual. Stereotip ini hanya berlaku untuk sekitar 15% dari kaum gay dan 5% dari lesbian. Stereotip ini membingungkan konsep orientasi seksual (apakah Anda lebih suka sesama gender atau yang berseberangan sebagai mitra seksual) dengan peran gender (menunjukkan perilaku maskulin atau feminin).
Lesbian, gay, dan biseks memiliki kepribadian yang bervariasi, dalam cara berpakaian, tingkah laku, dan gaya hidup. Sama halnya dengan orang heteroseksual. Terlepas dari keragaman ini, stereotip tentang orang banci atau wanita maskulin tetap bertahan. Meskipun beberapa orang gay mencerminkan karakteristik ini, mayoritas lesbian dan pria gay tidak sesuai dengan stereotip tersebut. Di sisi lain, banyak pria “kewanitaan” dan wanita yang maskulin mengidentifikasi diri mereka sebagai heteroseksual. Ada juga beberapa individu heteroseksual (lurus) yang mungkin berperilaku dengan cara yang dianggap stereotip gay atau biseksual.
Apakah semua pria pedofil adalah gay?
Pada kenyataannya, dua fenomena ini tidak memiliki kesamaan: peluang pria homoseksual untuk melakukan pelecehan seksual anak tidak lebih besar daripada pria yang “lurus”. Menurut American Psychological Association, anak-anak lebih mungkin dianiaya oleh orangtua, tetangga, atau kerabat dekatnya, dibanding teman-teman LGBT-nya.
Dilansir dari Live Science, sebuah studi 1989 yang dipimpin oleh Kurt Freund dari Clarke Institute of Psychiatry di Kanada, para ilmuwan menunjukkan gambar anak-anak pada pria dewasa gay dan heteroseksual, dan diukur gairah seksual mereka. Pria homoseksual tidak bereaksi lebih kuat untuk gambar anak-anak laki-laki daripada pria heteroseksual bereaksi terhadap gambar anak-anak perempuan. Sebuah studi tahun 1994, dipimpin oleh Carole Jenny dari University of Colorado Health Sciences Center, meneliti 269 kasus anak-anak yang dilecehkan secara seksual oleh orang dewasa. Dalam 82 persen kasus, tersangka pelaku adalah orang dewasa heteroseksual dari kerabat dekat anak, berdasarkan laporan yang diterbitkan dalam jurnal Pediatrics. Hanya dua dari 269 kasus, pelaku diidentifikasi sebagai gay atau lesbian. 97 persen dari pelaku pelecehan anak adalah pria heteroseksual dewasa yang menargetkan anak-anak perempuan.
Dilansir dari SPL Center, The Child Molestation Research & Prevention Institute mencatat bahwa 90% dari penganiaya anak menargetkan anak-anak di jaringan keluarga dan teman mereka sendiri, dan mayoritas adalah pria dewasa yang sudah menikah dengan wanita.
Apakah homoseksualitas dapat disembuhkan?
Terapi konversi adalah praktik yang mengklaim dapat mengubah homoseksual menjadi heteroseksual dalam hitungan bulan. Ini mencakup serangkaian prosedur meragukan — terapi kejutan listrik atau penggunaan obat perangsang mual-muntah, resep hormon testosteron, atau terapi wicara.
Pulkit Sharma, seorang psikolog klinis dan terapis psikoanalisis asal Delhi, dilansir dari Daily Mail, mengatakan, “Sama sekali tidak ada bukti ilmiah bahwa perawatan ini akan efektif.”
“Reparasi” atau terapi reorientasi seksual telah ditolak oleh semua medis, psikologis, psikiatri dan profesional organisasi konseling Amerika Serikat terkemuka. Pada tahun 2009, misalnya, American Psychological Association menyimpulkan bahwa ada bukti kuat yang menunjukkan bahwa kasus-kasus individu gay yang “sembuh” kembali menjadi pria lurus adalah kejadian yang sangat langka dan bahwa, “Banyak individu yang masih terus mengalami daya tarik seksual sesama jenis,” setelah terapi reparatif. Resolusi APA menambahkan bahwa “tidak ada cukup bukti sains untuk mendukung penggunaan intervensi psikologis untuk mengubah orientasi seksual” dan meminta profesional kesehatan mental untuk menghindari mempromosikan khasiat upaya perubahan orientasi seksual yang keliru dengan menjanjikan perubahan dalam orientasi seksual.
Sejumlah besar profesional medis, organisasi ilmiah, dan konseling di AS dan penjuru dunia telah mengeluarkan pernyataan mengenai bahaya yang dapat disebabkan oleh terapi reparatif, terutama jika hal ini didasarkan pada asumsi bahwa homoseksualitas adalah hal yang tidak dapat diterima. Pada awal tahun 1993, American Academy of Pediatrics menyatakan bahwa, “Terapi yang diarahkan secara khusus untuk mengubah orientasi seksual merupakan kontraindikasi, karena dapat memprovokasi rasa bersalah dan kecemasan sementara memiliki sedikit atau tidak ada sama sekali potensi untuk mencapai perubahan orientasi.”
Upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang, baik dengan terapi atau perkosaan “korektif” yang dilakukan terhadap kaum gay dan lesbian yang bertujuan untuk “meluruskan” mereka, melibatkan pelanggaran hak asasi manusia dan dapat menyebabkan trauma parah; menyebabkan hilangnya perasaan seksual, depresi, kecemasan, dan kecenderungan bunuh diri.
Source: www.hellosehat.com
Blogger Comment
Facebook Comment