Perdebatan apakah LGBT perlu dipidana atau tidak kembali mengemuka beberapa waktu terakhir. Dipicu putusan Mahkamah Konstitusi (MK), bola panas itu kini bergulir ke DPR.
Kriminalisasi
Secara bebas, kriminalisasi dapat didefinisikan proses menjadikan perbuatan yang bukan perbuatan pidana menjadi sebuah bentuk kejahatan baru. Semakin besar proses kriminalisasi, maka semakin besar pula bentuk kejahatan dan semakin banyak pula angka kejahatan.
Sebagai contoh, pada 2005 seseorang menggunakan uang dari hasil kejahatan untuk digunakan modal bisnis legal bukanlah kejahatan. Seorang bandar narkoba bisa membuka toko baju atau restoran dengan modal dari jualan narkoba.
Tapi, pasca diundangkannya UU Tindak Pidana Pencucian Uang pada 2012, perbuatan tersebut adalah kejahatan. Proses perumusan perbuatan mencuci uang dari yang dulunya legal menjadi bentuk kejahatan baru, itulah yang disebut dengan kriminalisasi.
Lembaga yang berhak mengkriminalisasikan sebuah perbuatan adalah legislatif. Hal itu sesuai dengan tugas dan fungsinya yang diberikan oleh UUD 1945.
Namun, belakangan terjadi latah penggunaan istilah kriminalisasi. Yaitu, mencampuradukkan istilah kriminalisasi dengan istilah penegakan hukum. Di mana penegakan hukum dilakukan oleh aparat penegak hukum, baik penyidik Polri, jaksa, KPK atau pun PPNS.
Proses penegakan bukanlah proses kriminalisasi karena penegakan hukum itu tidak membuat bentuk pidana baru. Bila masyarakat tidak setuju dengan proses tersebut, maka bisa menggugat aparat penegak hukum ke pengadilan lewat jalur praperadilan.
Masyarakat yang tidak setuju atas sebuah penetapan tersangka, maka ia dapat menggugat penyidik. Kewenangan penyidik terus diaudit lewat berbagai proses, dari praperadilan, putusan sela, hingga pascaputusan.
Dalam tulisan ini, LGBT ditujukan sebagai perbuatan homoseksual yang dilakukan oleh sesama orang dewasa.
LGBT adalah Kejahatan
Dalam proses legislasi di parlemen, paradigma terpecah ke dalam beberapa kelompok besar. Salah satunya adalah pandangan LGBT adalah kejahatan sehingga harus dipidana. Bentuk sanksi pidananya berupa penjara.
Kelompok ini menggunakan pembenar dari langit yaitu kitab suci telah melaknat dan mengutuk LGBT sejak zaman dahulu kala. Kebenaran langit itu kemudian menggaris batas tegas, mana moral dan mana yang amoral.
Alasan lain yaitu LGBT menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena HIV/AIDS. Disusul alasan kuantitatif yaitu menarik angka mayoritas dan minoritas: masyarakat dunia mayoritas heteroseks.
Langkah terakhir, kebenaran langit itu harus diperjuangkan lewat gerakan politik. Puncaknya merumuskan dan mengkonstruksikannya menjadi sebuah UU.
LGBT sebagai Fitrah
Di kelompok lain, mereka memandang LGBT merupakan fitrah dan bagian dari sejarah yang terelakkan. LGBT ada dan akan terus ada sebagai sebuah fitrah manusia. LGBT ada sepanjang sejarah manusia itu sendiri.
Manusia otonom untuk memilih dirinya menjadi heteroseks atau homoseks. Oleh sebab itu, LGBT bukanlah bentuk perbuatan pidana. Sepanjang sudah dewasa dan bisa menentukan pilihan, maka manusia tidak bisa dipidana atas pilihan orientasi seksualnya.
Alasan menolak lainnya yaitu pidana LGBT akan menimbulkan masalah baru yaitu dalam penegakan hukumnya. Seperti pembuktian, bentuk sanksi pidana hingga proses pemasyarakatannya.
LGBT Tabu
Di tengah irisan yang hitam-putih di atas, ada juga yang mengakui bahwa LGBT ada di dalam masyarakat, tapi mempertanyakan apakah hukuman pidana merupakan hukuman yang tepat. Pidana adalah upaya hukum terakhir dalam sebuah sistem hukum, masih ada sanksi-sanksi lain yang bisa dipakai untuk menertibkan sebuah masyarakat.
Ketidakteraturan masyarakat, tidak selamanya harus dipikul oleh hukum pidana dan negara. Masih ada keluarga, tokoh masyarakat, RT, kepala adat, tokoh agama, dan sebagainya untuk mengontrol penyimpangan sosial dalam masyarakat.
Hukuman ke LGBT akhirnya berupa sanksi sosial seperti didiskriminasikan oleh masyarakat, dikucilkan atau tidak diberikan tempat dalam jabatan publik.
LGBT yang dilakukan sesama orang dewasa, bukan kejahatan, tetapi perbuatan tabu. Alhasil, mengkampanyekan LGBT menjadi perbuatan terlarang karena mengkampanyekan perbuatan tabu. Sehingga yang dipermasalahkan adalah propagandanya, bukan LGBT-nya.
Masa Depan KUHP Baru
Dari tiga konstruksi di atas, maka segala kemungkinan akan terjadi di parlemen. Pertama, LGBT akan menjadi sebuah kejahatan baru. Kedua, LGBT bukan sebagai kejahatan, tapi hanya menjadi kejahatan bila melibatkan anak-anak. Paling ekstrem, meski sangat kecil kemungkinannya, parlemen memberikan hak-hak keperdataan kepada LGBT.
Namun, dengan melihat dinamika politik menjelang Pilpres-Pileg 2019, bisa jadi KUHP akan terbengkalai dan akan mulai dari 0 lagi pada periode parlemen 2019-2024. Bukankah naskah ini teronggok sejak tahun 80-an silam?
Dalam narasi besar Rancangan KUHP, LGBT adalah narasi kecil yang membuat hukum pidana Indonesia semakin gemuk. Masih banyak narasi kecil yang membuat Rancangan KUHP terseok-seok seperti eksistensi hukum adat, pasal santet, hingga pasal kumpul kebo. Belum lagi benturan dan gesekan dengan UU yang terbarukan.
Jangan sampai kencing sembarangan pun jadi delik kejahatan dan dipenjara.
Blogger Comment
Facebook Comment