Di pengujung 1968, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin sengaja mengumpulkan para banci untuk berbicara dari hati ke hati dengan mereka. Hal itu perlu ditempuh mengingat dari laporan yang masuk kepadanya, jumlah mereka cukup banyak, sekitar 15.000. Bila tak ditangani dengan baik, mereka dikhawatirkan akan kian bebas berkeliaran.
"Mereka juga manusia dan mereka juga penduduk Jakarta. Jadi saya harus mengurus mereka juga," kata Ali dalam 'Bang Ali: Demi Jakarta' yang ditulis sastrawan Ramadhan KH.
Tentu saja para wadam itu senang bukan kepalang. Mereka merasa terhormat bisa bertatap muka dengan gubernur untuk menyampaikan segenap harapan dan unek-uneknya secara langsung. Satu hal yang utama, mereka ingin agar eksistensinya diterima dan dihargai masyarakat luas.
"Saya minta kepada Pak Ali supaya pada suatu waktu dikeluarkan seruan kepada masyarakat supaya bencong-bencong diterima sebagaimana adanya," kata seorang bencong.
Tak cuma mendengarkan curhat mereka, Bang Ali malah kemudian memperkenalkan nama baru sebagai pengganti banci atau bencong, yakni wadam (wanita-Adam). Pada 1972, dia juga merestui berdirinya organisasi kaum bencong bernama Himpunan Wadam.
"Saya bertanggung jawab atas segala hal yang terjadi di masyarakat saya… saya merasa kelompok ini (wadam) tidak dihargai sebagaimana hak mereka. Mereka dikucilkan oleh masyarakat… kita harus melihat mereka sebagai manusia, sebagai warga kota ini, sebagai rakyat negara ini," ucap Ali dalam pidatonya kala itu.
Menurut Hendaru Tri Hanggoro dalam majalah Historia, para banci kala ituterbagi dalam berbagai kategori, yakni bencong abadi, bencong separuh, bencong bantet (bencong gagal), dan bencong single fighter (bencong yang bersembunyi).
"Sehari-harinya mereka memakai pakaian perempuan. Namun orientasi seksual bencong tak selalu lelaki (gay). Sebagian besar mereka masih berhubungan seks dengan perempuan," tulis Hendaru.
Antropolog Amerika Serikat, Tom Boellstorff, menilai kebijakan Bang Ali merangkul kaum wadam kala itu adalah tepat. Dan kini, tulisnya dalam 'A Coincidence of Desires: Anthropology, Queer Studies, Indonesia', waria menjadi figur yang akrab dalam lingkup politik sekali pun. Mereka tampil dalam kampanye politik, mengungkapkan referensi mengenai kandidat politik, bahkan mengelola kantor mereka sendiri.
Kebebasan diraup waria mendekati abad ke-20. Di Makassar, bupati setempat mensponsori kontes kecantikan waria pada 1990-an. Sang bupati dalam pidatonya meminta masyarakat seharusnya menerima waria karena 90 persen salon dimiliki mereka.
Selain itu, di Jawa Timur, kelompok waria berhasil melobi pejabat provinsi agar memberikan tanda khusus dalam KTP mereka. Kartu ini mereka tunjukkan ketika masuk ke Taman Remaja agar dapat menggunakan toilet laki-laki.
Sayang, perlakuan pejabat terhadap kaum wadam itu kini tak seperti Bang Ali. Kepolisian Resor Aceh Utara dikabarkan telah menggunduli para wadam yang bekerja di lima salon kecantikan, Sabtu malam, 27 Januari 2018. Langkah penggundulan tersebut mendapat protes banyak pihak karena dinilai tak manusiawi. Kepala Polres AKBP Untung Sangaji pun harus berurusan dengan Propam Polda Aceh. Detik
Blogger Comment
Facebook Comment