BERBEDA dengan Indonesia yang jelas-jelas menolak segenap usaha untuk memberikan ruang legal kepada kelompok LGBT, apa yang terjadi di Australia semenjak Desember lalu justru menunjukkan bahwa legalisasi pernikahan sejenis pun didukung oleh hampir seluruh lapisan masyarakat, dari kelas jelata hingga kelas atas. Bahkan pekan lalu, seseorang telah "membocorkan" kisah dua sejoli asal Queensland, Jill Kindt and Jo Grant, yang dipertautkan tali pernikahan sebelum UU perkawinan sejenis diberlakukan, dalam sebuah sidang parlemen.
Atas pertolongan Jaksa Agung setempat, pernikahan sejenis Jill dan Jo dimajukan sebelum undang-undang yang baru mulai efektif pada 9 Januari 2018, karena Jo Kindt menderita tumor ganas stadium akhir. Dalam keadaan serba tergesa dan darurat itulah, pada 15 Desember 2017, untuk pertama kalinya penghulu menggantikan definisi versi UU Perkawinan 1961 yang menegaskan perkawinan sebagai "penyatuan seorang laki-laki dan seorang perempuan" dengan definisi ala Undang-undang 2017 yang menganggap perkawinan tak lebih dari "pernyatuan dua orang."
Demi menghindari penegasan gender lelaki-perempuan itu pula, mempelai kemudian tidak lagi perlu mengungkapkan kata-kata "saya menikahimu sebagai istri (atau suami)", tapi cukup menggantikan kata "istri/ suami" dengan "pasangan." Sekedar gambaran, bandingkan pasal yang bebas gender itu dengan semangat penegasan gender yang terkandung dalam pasal 292 RKUHP Indonesia yang menyatakan "orang dewasa yang melakukan perbuatan cabul dengan orang lain sesama jenis—yang diduga belum dewasa—bakal diancam pidana penjara paling lama lima tahun."
"Inilah cerita tentang harapan yang melingkupi Queensland yang modern, negara bagian yang mengakui persamaan hak dan prinsip dasar bahwa cinta tetaplah cinta," kata Jaksa Agung Yvette D'Ath.
Perkawinan Jo dan Jill yang cuma berumur 48 hari, dan berakhir dengan kekalahan Jo berkelahi melawan kanker itu mengawali sebuah perubahan besar dalam peri kehidupan masyarakat Australia. Didahului dengan kelahiran Undang-Undang Anti Diskriminasi, Undang-Undang Hukum Keluarga, dan Undang-Undang Migrasi yang semuanya menyimpan spirit anti pembedaan gender, ditambah pernikahan Jo dan Jill yang bersejarah itu, kini 157 pasangan sejenis telah mengantongi buku nikah yang --boleh jadi tidak diakui agama, tapi-- diakui oleh negara di Queensland, Australia.
Bukan cuma itu. Jika masalah jenis kelamin senantiasa menjadi persoalan identitas kaum transgender yang pelik, dunia yang bebas gender yang baru ini otomatis juga akan membebaskan orang-orang transgender untuk memilih jenis kelamin yang diiinginkannya -- sekali pun berbeda dengan yang tertera dengan akta kelahiran. Hak untuk memverifikasi jenis kelamin yang selama ini berada di tangan negara sekarang telah beralih ke tangan kaum transgender. Gender adalah pilihan pribadi dan bukan kodrat.
Namun mengakui bahwa "kebebasan seseorang dibatasi kebebasan orang lain", para legislator lekas menyadari bahwa kebebasan mengobarkan semangat tanpa pembedaan gender ini pun cepat berbenturan dengan kebebasan beragama. Apa boleh buat, UU Perkawinan yang baru ini pun menegaskan sebuah pengecualian: atas nama kebebasan beragama, tidak ada kekuatan yang lantas dapat memaksa seorang pendeta, pastor, ustadz atau qadi merestui pernikahan --sejenis-- yang diyakini bertentangan dengan keyakinannya selama ini. Pasal 47 Undang-Undang Perkawinan Australia menunjukkan, "Tidak ada yang bisa memaksakan kewajiban kepada seorang penghulu yang berwenang untuk menikahkan siapapun."
Kendati begitu, seorang penghulu yang tak terikat denominasi agama dengan serta-merta akan terancam Undang-Undang Anti Diskriminasi jika ia menolak menikahkan pasangan sejenis. Ancaman yang sama akan dikenakan kepada seorang sopir taksi, karyawan toko, pegawai bank, dokter atau siapa saja yang bergerak dalam bidang pelayanan umum, jika sosok yang bersangkutan, dengan alasan apa pun, menolak melayani orang-orang yang tergolong dalam Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) dengan baik.
Sumber: https://hukum.tempo.co/
Blogger Comment
Facebook Comment