The World Tourism Organization memperkirakan dalam sebuah laporan 2016 bahwa turis LGBT menyumbang lima sampai sepuluh persen dari wisatawan global.
Mulai dari destinasi bulan madu yang ramah gay hingga tempat berpesta, pariwisata telah lama melayani para turis LGBT. Tapi seiring dengan bertambahnya penerimaan, begitu juga seruan industri untuk memperluas penawarannya, dan menghindari tawaran yang bersifat klise.
Sangat sering profesional pariwisata terjebak pada pandangan stereotip tentang tamu LGBT sebagai turis hedonis, kata Thomas Boemkes dari agensi konsultan Diversity Tourism di acara ITB (Internationale Tourismus-Börse) fair Berlin, sebuah pameran dagang pariwisata terbesar di dunia.
“Pemilik hotel masih bertanya kepada saya bagaimana menjadi ramah LGBT, dan misalnya bagaimana jika mereka harus menawarkan kondom,” kata Thomas Boemkes.
“Saya katakan kepada mereka semua, yang harus mereka lakukan adalah bersikap toleran dan ramah, seperti Anda dengan klien lain, tanpa bersikap mengganggu,” katanya, menambahkan bahwa “hal ini sangat dihargai” ketika staf resepsionis bertanya kepada dua tamu lelaki apakah mereka mau kamar dengan tempat tidur terpisah atau tidak..
Ini menggambarkan mereka sebagai kelompok “yang melakukan perjalanan dengan frekuensi yang lebih besar dan menunjukkan pola pembelanjaan yang lebih tinggi dari rata-rata”, membuat mereka disebut sebagai “pink dollar” dan disambut di banyak negara.
“Belum banyak turis LGBT yang memiliki anak, dan mereka memiliki lebih banyak uang dan waktu untuk bepergian,” kata John Tanzella, pimpinan the International Gay and Lesbian Travel Association (IGLTA).
Pariwisata LGBT telah meledak sejak kejadian lebih dari empat dekade yang lalu, ketika sebuah perusahaan perjalanan Amerika Serikat menawarkan tur khusus gay pertama di Grand Canyon pada tahun 1973.
Sepuluh tahun kemudian, IGLTA yang berbasis di Amerika Serikat didirikan dan hari ini termasuk di antara peserta pameran yang paling menonjol di ITB fair yang berpengaruh, sebagai bukti dari sebuah sektor yang berekspansi secara penuh.
Selama bertahun-tahun, banyak kota di seluruh dunia telah menumbuhkan reputasi sebagai tempat liburan yang ramah LGBT, seperti Berlin atau Barcelona.
Tujuan seperti ini yang ditargetkan oleh Juan Julia melalui rantai Axel Hotel yang ditujukan untuk pelancong LGBT. “Itu berarti tempat di mana Anda merasa bebas, diterima, inklusif, Anda bisa bertemu dengan masyarakat setempat, seperti tempat perlindungan,” katanya.
Dan penyertaan berjalan dua arah. “Kami juga ramah heteroseksual,” tambahnya.
Tapi meski beberapa tempat tetap menjadi favorit abadi, masyarakat semakin ingin memperluas cakrawala.
Semakin banyak negara yang menjadi “lebih aman dan ramah”, kata John Tanzella, yang memungkinkan para pelancong LGBT berani untuk melepaskan diri dari “gay bubble effect” dan mulai bereksplorasi.
Di antara tujuan utama yang muncul adalah Kolombia, yang digambarkan oleh John Tanzella sebagai “sangat terkenal di komunitas kita, dengan banyak klub dansa gay”.
“Kolombia sangat berpikiran maju,” katanya. “Dan seluruh penjuru negara itu indah.”
Mulai dari kursus selancar di Brazil, tur di Tel Aviv sampai retret yoga di Thailand, para penyedia jasa perjalanan sibuk dengan para pelancong LGBT yang makmur.
Paket yang paling populer adalah yang terkait dengan pesta pernikahan dan bulan madu, yang didorong oleh legalisasi kesetaraan pernikahan di negara-negara di seluruh dunia.
Di ITB fair, penyedia jasa pariwisata dari California termasuk di antara mereka yang secara aktif mencoba merayu calon pengantin baru, dengan harapan bisa mendengar suara gemerincing uang yang terdengar seperti lonceng pernikahan.
Survei tahun 2015 yang dilakukan oleh Community Marketing menemukan bahwa kriteria utama bagi wisatawan LGBT adalah kualitas, harga dan lokasi – sama seperti turis heteroseksual. Sementara itu, keluarga LGBT dengan anak-anak menempatkan akomodasi ramah anak di bagian atas daftar mereka.
Namun, di samping bisnis pariwisata ramah LGBT yang sedang booming, ITB fair Berlin juga menyoroti operator tur yang menawarkan jenis liburan yang berbeda, yang bertujuan untuk bertahan di tempat-tempat yang masih homofobik/transfobik.
John Tanzella mengatakan federasi perjalanannya telah menciptakan sebuah yayasan untuk membantu “tujuan (wisata) LGBT dalam konteks yang sulit”, dan mensponsori parade gay kecil di negara-negara di mana masyarakat masih berusaha untuk mendapatkan lebih banyak penerimaan.
John Tanzella mengatakan bahwa di Uganda, di mana homoseksualitas itu ilegal, mereka memiliki seorang anggota lokal, “seorang yang sangat pemberani”, yang mencoba mendorong pariwisata LGBT.
“Uganda adalah salah satu negara yang paling homofobik di dunia,” kata John Tanzella.
“Tapi dia hebat dan kami membantu dia, kami juga ingin melihat gorila.”
Sumber: http://www.suarakita.org/
Blogger Comment
Facebook Comment