Ketika Dokter Bukan Solusi Untuk Pasien HIV/AIDS


KURANG lebih dua tahun lalu, di suatu malam di klinik tempat saya bertugas, seorang ibu-ibu berjilbab bernama Riri datang ke klinik. Giginya berlubang dan terasa nyeri, bagi seorang dokter gigi itu permasalahan yang umum dan bisa diselesaikan. Namun satu pernyataanya cukup mencengangkan,

“Saya ini ODHA (orang dengan HIV AIDS), Dok,” tuturnya. Saya tersengat, namun saya salut akan kejujuran dan keberanian mengumbar perihal yang sering dianggap aib itu.

Kepada saya dia mengakui bahwa dia sering sakit hati ketika datang berobat ke klinik atau fasilitas kesehatan lainnya. Di sana dia sering dituding amoral, pelacur, LGBT, dan hina. Salah satu yang paling tidak mengenakkan yang dia alami adalah pertanyaan, “Kenapa na jilbab bisa kena HIV?”

Setelah menuturkan itu, dia tak mampu membendung isak tangisnya. Setelah itu saya menanyakan mengenai, dari mana dia mengetahui kondisi kesehatannya itu. Dia menjawab itu diketahuinya saat mendonorkan darah, sebuah surat kemudian meluncur ke rumahnya dan memberitahu kenyataan bahwa dia terjangkit virus itu.

Dari mana dia mendapatkan penyakit itu, dia bahkan tidak mengetahui. Tanpa saya harus bertanya, dia menuturkan bahwa dia bukanlah pemakai narkoba, kelainan seksual, ataupun gonta-ganti pasangan.

Dia masih belum bisa mengendalikan emosi yang mengerubunginya. Satu hal yang pasti dia ketahui, suaminya adalah seorang pemadat—di sini saya tak berani melanjutkan pertanyaan.

Tanpa pikir panjang, saya kemudian memeriksa giginya tanpa merasa terbebani dengan statusnya. Saya berusaha seprofesional mungkin, sehati-hati, dan mengabaikan kenyataan bahwa penyakit ini rentan mengenai para dokter gigi. Sejak saat itu saya beberapa kali mengontaknya, terlebih salah satu perencanaan penelitian untuk melanjutkan studi adalah berhubungan dengan ODHA.

Interaksi bersamanya membuat saya berkenalan dengan beberapa rekanannya yang senasib dan sepenanggungan. Saya mempelajari bahwa mereka juga sama seperti kita. Mereka rapuh, serapuh ranting kayu yang kering. Pasrah akan kematian dan hidup dalam cercaan.

Beberapa diantaranya memilih hidup dengan aktivitas-aktivitas yang berisiko, sementara yang lainnya memilih bersenang-senang sebanal-banalnya sebagai panggilan agar sang maut menjemput.

Menjadi ODHA memang harus mendekam dalam kungkungan ketakutan. Seringkali HIV AIDS sering diidentikkan dengan kejatuhan akan moralitas. Hal itu dialami juga oleh mega bintang, Freddie Mercury.

Dalam sebuah dokumenter, Freddie Mercury: The Untold Story. Disebutkan bahwa Freddie mengalami masa-masa sulit saat terjangkit virus tersebut. Tiada satupun rekan bandnya yang mengetahui keadaan kesehatannya.

Hingga satu waktu, dia mengungkapkan itu kepada rekanan dan anggota bandnya. Dalam pengakuannya, sang gitaris Brian May mengungkapkan bahwa mereka menyembunyikan hal tersebut dari publik karena mereka mencoba melindungi Freddie dari terjangan publik.

Hingga salah satu video klip “These Are the Days of Our Lives” dari album terakhir Freddie Mercury bersama Queen, Innuendo tahun 1990. Di video klip tersebut, AIDS itu memangsa tubuhnya hingga kisut. Hingga harus di make up selama berjam-jam untuk menyembunyikannya.

Brian May juga menambahkan bahwa AIDS itu juga membuat kakinya lumpuh. Hal itu dia keluhkan di banyak kali kesempatan bersama May. Di satu makan siang bersama, Freddie mengucapkan kata-kata perpisahan. “Saya tahu di mana kelak kau akan menaruhku. Tapi saya tidak ingin seorangpun tahu, karena saya tidak ingin siapapun menggali liang kuburku,” tutur Freedie.

Keputusasaan itu kemudian melingkupinya, ketakutan akan trauma dan stigma itu dipaparkan kepada rekannya sesama musisi Inggris, Dave Clark. Dia mengacuhkan semua terapi yang diberikan oleh dokter.

Dan Freddie berakhir di dunia pada 24 November 1991, sehari setelah pengakuannya kepada publik. Bronchopneumonia (semacam penyakit paru) terkait AIDS memangsanya. Setelah mayatnya dikremasi di London, Austin (pasangannya) menyembunyikan abunya selama beberapa waktu.

Austin kemudian menyusup membawa abu tersebut dan menguburkan abu tersebut tanpa memberi tahu lokasinya. Bahkan keluarganya pun tidak mengetahui di mana lokasi perkuburan sang legenda dari Zanzibar tersebut. Freddie mati di dalam kesepian dan kesunyian.

Hingga kini, apa yang ditakutkan oleh Freddie dan May masih tersisa. Diskriminasi dan stigma pada pelaku medis, masih  terjadi. Di Mesir, sesuai temuan Kabbash, dkk, sebanyak 78,7 persen para profesi medis merasa perlu menghukum dan membuat jera para ODHA. Hal yang serupa juga ditemukan di Banda Aceh, bahwa para profesi medis masih sering melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Padahal, di era ini harusnya lebih menerima, dimana pengobatan ARV telah terbukti memperpanjang usia para ODHA. ODHA juga adalah manusia yang layak mendapatkan penghidupan dan pelayanan kesehatan tanpa adanya diskriminasi dan stigma.

Justru stigma dan diskriminasi lah–terlebih para petugas medis–yang mencegah para ODHA ini untuk berobat teratur. Saya masih ingat di awal tahun 2017, bagaimana diskriminasinya status seorang dokter bedah, Omat R Hasbullah. Statusnya itu cukup meresahkan dalam memberantas kedua permasalahan itu.

Kalau seandainya para dokter berpikiran sama dengan Omat, entah di mana para ODHA ini akan melabuhkan harapan. Masihkah harus ada Freddie dan Riri lainnya?

***

Beberapa bulan yang lalu, seorang teman Riri mengabari saya, bahwa Riri telah meninggal. Sama seperti Freddie Mercury, Riri mengalami penyakit paru terkait AIDS yang dideritanya.

Saya pun bertanya, di mana dia dikuburkan. Temannya tidak mengetahui lokasinya, bahkan kontak keluarganya pun tidak diketahuinya. Dan kini Riri sama dengan Freddie: mengakhiri hidup dalam kesepian.

Sumber: http://locita.co/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment