Sekitar sembilan tahun yang lalu, saya beserta suami sedang menikmati makan malam di sebuah rumah makan di Ubud, Bali, ketika kami bertemu sepasang kekasih berusia di penghujung 50an atau awal 60an yang tampak sangat bahagia. Tempat itu adalah restoran lokal kecil – dengan tiga meja dan menu yang berisi kurang dari 10 jenis makanan – melayani turis jangka panjang yang menyewa vila di daerah sekitarnya.
Kedua laki-laki itu duduk di sebelah kami, dan salah satu dari mereka, pria yang ramah dan penuh ocehan, mulai berbincang dengan kami. Percakapan menyenangkan ini berlanjut dan saya pun mengetahui bahwa mereka berasal dari California dan telah menjalin hubungan selama dua tahun. Saya bertanya tentang bagaimana mereka bertemu, lalu mereka tersenyum dan saling bertatapan, seakan memberi sinyal bahwa cerita yang akan disampaikan terkesan rumit.
“Saya adalah seorang pendeta di gereja selama 30 tahun sebelum akhirnya pensiun,” jawab pria yang lebih pendiam ketimbang pasangannya. Ia pernah menikah dan memiliki anak, yang kini sudah dewasa, tapi ia tidak pernah merasa bahagia.
“Satu hal yang selalu saya tahu adalah bahwa saya seorang homoseksual, namun kepercayaan saya mengatakan bahwa hal itu adalah suatu dosa, sehingga saya menikah dan menjalani rutinitas hidup dewasa sebagai seorang heteroseksual.”
Singkat cerita, ia pun menceraikan istrinya dan mulai melakukan pencarian jati diri pada umur 50an, hingga ia bertemu pasangannya melalui – dari sekian banyak tempat – iklan baris yang ia pajang di Craig’s List untuk berkencan. Mereka pun bahagia bersama sejak saat itu.
Saya bertanya apakah ia telah berdamai dengan kepercayaan agamanya setelah menemukan kebebasan seksual, dan ia menjawab: “Saya percaya bahwa Tuhan itu sendiri adalah cinta.”
Hingga saat ini, cerita itu selalu menghangatkan hati dan menguatkan kepercayaan saya bahwa setiap orang berhak untuk mencintai dan dicintai pada usia berapa pun, serta sesuai dengan gender dan orientasi seksual yang mereka inginkan. Lebih dari itu, saya selalu percaya bahwa sumber utama ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan adalah ketidakmampuan seseorang untuk menerima diri mereka sendiri.
Bagi kebanyakan dari kita, penerimaan diri adalah hal yang sulit dipahami, layaknya kaca dengan retakan kecil yang dapat hancur kapan pun. Bagi para homoseksual, terutama yang hidup di lingkungan konservatif di mana mereka kerap disebut sebagai malapetaka atau pendosa, perjuangannya menjadi dua kali lipat. Menyembunyikan orientasi seksual – meski memberi keamanan dalam aspek sosial, hukum, dan bahkan fisik – dapat mengakibatkan mereka menolak identitas mereka yang sesungguhnya. Alhasil, tingkat depresi kaum LGBTIQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Interseks dan Queer) cenderung tinggi.
Bayangkan jika anda hidup di dunia paralel, di mana segala hal menjadi terbalik dan heteroseksual adalah kelompok minoritas. Bayangkan harus menyembunyikan identitas sebagai perempuan yang menyukai laki-laki, bukan perempuan lain. Bayangkan agama yang dipercayai mengatakan bahwa anda akan masuk neraka, dan para politikus pencari perhatian menuduh anda sebagai perusak pikiran anak-anak karena menyukai lawan jenis.
Meski terdengar dibuat-buat, contoh dunia terbalik ini dapat memberi gambaran atas hak istimewa yang anda miliki. Saya menyadari bahwa kebanyakan debat LGBTIQ di Indonesia akhir-akhir ini berpusat kepada dua argumen:
- Homoseksualitas adalah hal yang salah secara moral
- Kelompok homoseksual telah dianggap “bebas”, sehingga tidak seharusnya mereka meminta hak lebih.
Sementara argumen kedua adalah sebuah miskonsepsi, dan isu LGBTIQ yang kian meningkat pun menunjukkan hal tersebut. Bagian ini dapat dengan mudah dibuktikan kekeliruannya dengan mengaplikasikan konsep hak istimewa yang dimiliki oleh kebanyakan dari kita sebagai kelompok heteroseksual.
Hak istimewa, jika dijelaskan secara sangat sederhana, adalah keuntungan yang tidak didapat dan diberikan langsung kepada orang-orang dalam kelompok sosial spesifik. Dalam lingkup keadilan sosial, anda akan sering melihatnya sebagai bagian dari kekuatan dinamis dan berada di sisi lain suatu penindasan. Masyarakat memberikan hak istimewa kepada orang-orang berdasarkan beberapa aspek identitas mereka, seperti ras, kelas, jenis kelamin, bahasa, keterampilan, agama, dan orientasi seksual.
Berikut adalah daftar pendek hak-hak istimewa heteroseksual yang sering kita anggap sepele dan tidak berlaku untuk kaum LGBTIQ. Ada banyak lagi, tentunya, namun saya harap daftar ini dapat membuat kita berpikir ulang mengenai keuntungan yang kita miliki.
1. Hidup di lingkungan heteronormatif
Heteronormativitas adalah kepercayaan bahwa orang-orang tergolong dalam gender yang khas dan komplementer (laki-laki atau perempuan) serta mengasumsikan heteroseksualitas sebagai satu-satunya norma dan orientasi seksual. Saya sangat tersentuh saat mendengar cerita sang pendeta California karena saya tidak pernah melewati rintangan seberat itu. Ketika saya berumur 8 tahun, saya menyukai seorang anak laki-laki di kelas. Ketika umur saya 14 tahun, saya mulai pacaran dengan laki-laki di sekolah, dan sejak saat itu saya sudah berkencan dengan sejumlah orang pria. Ketika menginjak usia 25 saya pun jatuh cinta dengan pria yang delapan tahun kemudian menjadi suami saya, dan seterusnya.
Poin dari cerita tersebut adalah tidak ada orang yang takut dengan fakta bahwa saya menyukai laki-laki. Saat berusia 8 atau 14, tidak ada yang mengatakan hal itu hanya sebuah fase. Tidak ada yang mempertanyakan saya dan memberi peringatan betapa besar implikasinya untuk menyukai lawan jenis, karena hal itu sudah diharapkan. Namun, jika anda seorang laki-laki berumur 15 tahun dan merasakan daya tarik terhadap laki-laki lain, anda bisa merasakan ketakutan hingga berpikir ada yang salah dengan diri anda, karena sepengetahuan Anda, tidak ada orang lain yang merasakan hal seperti itu. Untuk sejumlah orang, mengetahui bahwa mereka “salah” dan tidak diterima dapat berujung ke konsekuensi fatal, seperti bunuh diri.
Heteronormativitas berkaitan erat dengan norma gender dalam kehidupan sehari-hari kita tanpa disadari. Seorang teman yang baru saja melahirkan bayi laki-laki mengatakan kepada saya, secara diam-diam, bahwa meskipun ia menghargai niat baik orang-orang yang membelikan pakaian untuk anaknya, tapi akan lebih menyenangkan bila mereka membeli pakaian berwarna selain biru.
“Kuning juga bagus,” ujarnya. “Pink apalagi!”
Terlepas dari fakta bahwa dulu warna biru sempat dianggap sebagai warna feminin – dan merah muda merupakan warna maskulin – hal ini menunjukkan bahwa, bahkan saat baru terlahir ke dunia, seorang anak telah dimasukkan ke dalam narasi gender yang beranggapan bahwa semua orang adalah heteroseksual.
Ini pun dapat dilihat dari banyaknya representasi media terhadap hubungan percintaan heteroseksual. Dari mulai serial TV dan film layar lebar, hingga majalah, yang ada hanyalah pasangan heteroseksual berciuman. Ya, memang di stasiun TV barat sudah terdapat banyak karakter dan hubungan homoseksual, namun dalam budaya populer Indonesia, karakter homoseksual masih direpresentasikan oleh stereotip badut atau sosok jiwa malang yang butuh diselamatkan.
2. Tidak harus terbuka kepada publik
Mari kembali ke dunia paralel. Anda lelah menyembunyikan identitas diri, sehingga anda memutuskan untuk mengungkapkannya kepada semua orang. Apa yang akan terjadi? Banyak sekali.
Ya, terbuka kepada publik adalah tema utama dalam kehidupan seorang homoseksual. Dan karena adanya kemungkinan implikasi sosial, sebagian orang tidak pernah melakukannya dan mereka akan berbuat apa pun untuk menyembunyikan seksualitas mereka (termasuk menjadi bagian dalam pernikahan heteroseksual tanpa sepengetahuan pasangan mereka). Beberapa orang hanya bersikap jujur kepada sebuah kelompok kecil orang-orang yang dipercayainya, sementara sisanya cukup puas untuk hidup di antara dua posisi, dalam sebuah “pemahaman umum”.
Untuk mencapai titik di mana anda mengaku pun tidak pernah mudah, banyak pertimbangan yang harus dipikirkan sebelum melaksanakannya. Dan tindakan ini tidak hanya dilakukan satu kali. Tidak ada tombol yang membiarkan seseorang come out atau “keluar” dan bebas selamanya karena sekarang semua mengetahui dan menerima anda. Orang-orang homoseksual sering kali harus melakukannya berulang-ulang.
3. Dapat menikah secara legal di belahan bumi mana pun
Benar, sejumlah negara telah melegalisasi pernikahan sesama jenis, namun belahan dunia lainnya belum memiliki persetujuan tersebut. Faktanya, masih ada sejumlah hukum keji yang melarang homoseksualitas. Pengakuan secara hukum dapat berarti banyak hal, mulai dari penerimaan sosial dan dukungan untuk hubungan anda, mendapatkan rekening bank bersama, memiliki properti bersama, mengisi formulir pajak pasangan, berbagi kebijakan asuransi, hingga mendapatkan hak legal atas warisan dari pasangan. Anda pun dapat mendaftarkan pasangan untuk akses langsung apabila terjadi keadaan darurat.
4. Tidak perlu khawatir akan diketahui orang di sekolah atau kantor dan dikeluarkan atau dipecat
Isu ini masih terjadi di Indonesia. Beberapa pekerjaan seperti mengajar di sekolah masih tertutup untuk homoseksual karena anggapan bahwa mereka akan membahayakan dan merusak anak-anak. Dugaan seksualitas anak sering kali menjadi penyebab utama mereka dirisak di sekolah.
5. Tidak harus takut akan dianiaya atau dilecehkan karena orientasi seksual anda
Kekerasan atas dasar kebencian terhadap seksualitas masih menjadi salah satu penyebab tertinggi kematian bagi kelompok homoseksual, dan pemerkosaan menjadi semacam “resep” untuk “mengobati” perempuan lesbian. Di Amerika Serikat, kekerasan berbasis orientasi seksual tergolong dalam 17 persen dari seluruh kekerasan atas dasar benci, dan sebagian besar darinya adalah terhadap pria gay. Kekerasan yang ditujukan pun dapat berbentuk psikologis.
6. Tidak akan kehilangan keluarga atau teman apabila mengungkapkan seksualitas anda
Ada sekian banyak kasus orang tua yang tidak mengakui anak mereka atau berhenti membiayai sang anak, sehingga mereka harus putus sekolah. Sekitar 40 persen tunawisma muda di AS adalah anak-anak homoseksual dan transgender. Saya yakin angka tersebut sama tingginya di Indonesia jika ada statistik untuk itu. Menjadi seorang heteroseksual berarti anda dapat membesarkan anak, baik milik sendiri atau lewat adopsi, tanpa rasa takut mereka akan diambil karena orientasi seksual anda.
Ini berarti anda tidak harus menyembunyikan identitas diri sendiri, pasangan, dan percintaan kalian berdua. Saya memiliki banyak teman dekat homoseksual, dan hanya segelintir dari mereka yang sepenuhnya mengakui orientasi mereka. Sebagian terus menjalani hidup yang belum sepenuhnya terbuka, hanya mengutarakan seksualitas mereka ke orang-orang terdekat. Bagi beberapa di antaranya, mereka harus berjuang sedemikian rupa untuk menghindari identitasnya diketahui, dengan alasan mengapa mereka belum menikah, membuat cerita palsu tentang pasangan mereka, bahkan memperkenalkannya ke orang lain sebagai kakak atau saudara.
Mengetahui hak istimewa mengajarkan kita untuk lebih welas asih dan sensitif terhadap orang lain yang tertindas. Mengetahui hak istimewa menjadikan kita orang yang lebih baik.
Saya harap anda mulai menggunakan hak istimewa tersebut di lingkungan sekitar untuk memperkeras suara orang-orang yang tidak berada dalam posisi untuk didengar.
Sumber: http://magdalene.co/
Blogger Comment
Facebook Comment