Sebagai bagian dari komunitas LGBT di Indonesia, saya menyesalkan pelanggaran privasi dan penutupan beberapa fasilitas minoritas yang dilakukan aparat kepolisian sepanjang 2017. Penutupan gay spa, misalnya. Saya yakin penutupan ini dijalankan atas niat baik oleh aparat kepolisian dan aparat kepolisian telah berusaha menjalankan tugas mereka sebagai bentuk pelayanan keamanan dan ketertiban masyarakat. Saya menghormati usaha menjalankan tugas tersebut.
Namun, saya merasa penutupan beberapa gay spa terjadi lantaran minimnya pemahaman seksualitas di masyarakat, terutama pemahaman keragaman seksualitas yang sudah pasti berbeda dengan apa yang diketahui masyarakat awam. Menurut pengamatan saya, penutupan gay spa yang terjadi lantaran terjegal pasal pornografi dan prostitusi. Sebagai seseorang yang aktif di pendampingan kelompok minoritas selama beberapa tahun di Indonesia, saya merasa ada beberapa hal yang sebaiknya diperhitungkan pula oleh masyarakat.
Saya yakin penutupan ini dijalankan atas niat baik
Pertama, masalah pornografi. Indonesia memiliki undang-undang pornografi yang melarang setiap warganya untuk mengakses dan memiliki konten bermuatan pornografi. Uraian pasal-pasal mengenai pornografi juga memastikan tidak ada warga negaranya yang terlibat aktif dalam kegiatan bermuatan pornografi. Namun, dalam praktiknya, pornografi di kehidupan masyarakat Indonesia menjadi bermasalah ketika hal yang dianggap porno tersebut menjadi terlalu publik.
Apa yang dimaksud dengan publik? Pemahaman hukum tradisional memisahkan ruang manusia menjadi dua, yakni ruang publik dan ruang privat. Secara tradisional, apa yang diungkap kepada orang lain secara otomatis dianggap publik. Sederhana, bukan? Pemahaman tradisional “apa yang dimaksud publik” ini pun juga bisa membuat kegiatan dua orang dewasa di sebuah ruang tertutup dianggap menjadi publik karena “Apa yang diungkap kepada orang lain dianggap sebagai publik” terlepas dari kedua orang dewasa itu suami istri atau bukan.
Artinya, kegiatan sepasang suami istri dalam sebuah kamar tertutup pun bisa dianggap menjadi kegiatan yang bersifat publik pula.
Pemahaman tradisional tentang “apa yang dimaksud publik” ini bisa membuat masyarakat awam menjadi tidak nyaman karena dapat diartikan begitu luas. Oleh karena itu, seiring dengan berjalannya waktu, pemahaman manusia, dan perkembangan teknologi, pemahaman “apa yang dimaksud publik” ini harus diseimbangkan dengan pemahaman akan apa yang dimaksud dengan privasi.
Saya menghormati usaha menjalankan tugas tersebut.
Privasi adalah kebutuhan setiap insan manusia, apapun agama, ras, suku, ekspresi gender, maupun orientasi seksualnya. Kenapa begitu? Karena buat kita, privasi adalah kesempatan istirahat untuk menutup diri dari beberapa orang untuk sesaat.
Semua orang butuh istirahat. Istirahat dari apa? Dari tanggung jawab ketika kita berada di ruang publik.
Ketika berada di ruang publik, terdapat beberapa tuntutan dan harapan dari publik tentang bagaimana seseorang membawa dirinya; oleh karena itu kita butuh istirahat.“Waktu istirahat” ini bisa digunakan untuk macam-macam, dari mulai yang trivial sampai krusial. Yang trivial itu contohnya ngupil. Hidung gatal karena ada yang mengganjal, malu juga jika harus dikorek di depan publik. Lalu yang krusial itu contohnya seorang muslim sedang sedih, ingin salat dan menangis untuk dikuatkan. Kalau salat sambil nangis di mushola akan merepotkan.
Nangis ketika salat di mushola bisa memancing perhatian atau pertanyaan dari orang sekitar. Terkadang kita nggak siap untuk menjawab. Ada saatnya kita ingin nangis dan salat saja tanpa harus ada kewajiban menjawab pertanyaan manusia-manusia di sekitarnya.
Buat sebagian orang, menangis mungkin tidak menyelesaikan masalah yang dihadapi, tetapi setelah menangis kita lebih lega dan kuat untuk menghadapi masalah. Oleh karena itulah, ketika kita ingin salat dan barangkali menangis, mungkin paling tepat dilakukan di rumah saja. Di saat-saat itulah artinya kita butuh privasi.
Privasi itu manusiawi dan semua orang berhak atas privasi, terlepas dari apa agama, ras, suku, orientasi seksual dan ekspresi gendernya.
Namun, privasi adalah sebuah konsep yang agak kompleks, yang mungkin belum dipahami oleh masyarakat awam. Secara mudah, tiga elemen yang berkaitan dengan privasi adalah: akses, kerahasiaan, dan kontrol.
Sekarang, mari kita terapkan 3 elemen tersebut ke situasi “Sedang sedih & ingin salat serta mungkin menangis” yg sedang dibahas. (1) Elemen “Akses”: Kalau dilakukan di rumah, artinya tidak semua orang memiliki akses masuk ke rumah kita. (2) Elemen “Kerahasiaan”: Hal-hal yang terjadi di rumah adalah ranah pribadi dan tidak selalu pantas dibicarakan secara publik dan terbuka. (3) Elemen “Kontrol”: Sebagai pemilik rumah, kita punya kontrol atas siapa yang masuk dan keluar dari rumah kita.
Privasi adalah kebutuhan setiap insan manusia
Saya beberapa kali sempat mengunjungi gay spa dan saya melihat ketiga elemen yang menyeimbangkan pemahaman “apa yang dimaksud publik” ini ada di sana. Elemen akses, misalnya. Setiap pengunjung gay spa diharapkan menyertakan KTP dan identitasnya ketika masuk ke area resepsionis. Ini memastikan bahwa adik dan saudara saya yang belum cukup umur tidak dapat mengakses fasilitas dewasa ini.
Kedua, elemen kerahasiaan. Ini artinya, apapun yang terjadi di dalam gay spa tidak sepatutnya dibicarakan kepada orang lain secara sembarangan agar tidak menimbulkan kesalahpahaman. Begitu pula menyebarluaskan foto dan gambar-gambar yang diambil di dalam gay spa. Mengapa begitu? Karena setiap perilaku manusia juga ditentukan oleh konteks. Konteks adalah menyoal situasi. Misalnya, mengenakan pakaian di ruang tamu adalah hal yang wajar, tetapi terus-terusan mengenakan pakaian di kamar mandi adalah hal yang aneh. Beda situasi artinya beda konteks, dan perilaku manusia di sebuah situasi bisa berbeda di situasi yang lain. Namun kita suka melupakan konteks ketika memberikan penghakiman. Begitu pula ketika memberi penghakiman terhadap gay spa. Ketika kegiatan di dalam sebuah pemandian umum difoto dan disebarluaskan, foto bisa kehilangan konteks aslinya. Dari “Sama-sama telanjang” menjadi “Telanjang kok rame2!”
Lalu, yang terakhir adalah kontrol. Setiap gay spa yang saya kunjungi memiliki tenaga keamanan sebagai bagian dari tata kelola yang baik, seperti satpam misalnya. Ini artinya pengelola gay spa memiliki kontrol ketika ada mereka yang belum cukup umur dan memaksa ingin masuk.
Dari uraian di atas, gay spa bisa dianggap sebagai tempat yang publik tapi sekaligus privat. Rumah Anda pun bisa menjadi tempat yang publik ketika Anda mengundang teman-teman dan keluarga untuk mengadakan selamatan. Namun, rumah Anda adalah tempat yang privat pula karena tidak semua orang bisa masuk ke rumah Anda. Anda pun bisa mengusir orang yang membicarakan rumah Anda dengan sembarangan.
***
Dalam dinamika intra-komunitas, fasilitas gay spa pun memiliki fungsi sosial yang penting sebagai zona aman, atau “teritori kami”. Sama seperti Anda, berkumpul dengan orang-orang yang memiliki latar belakang sama memberikan kenyamanan dan kepastian bebas dari kesalahpahaman. Komunitas Indonesia di luar negeri gemar melakukan pengajian dan bisa membicarakan hewan qurban tanpa dianggap melakukan “animal slaughter” oleh masyarakat di luar pengajian tersebut. Seorang pendeta yang bicara mengenai tuhannya di hadapan umat yang bukan dengan latar belakang yang sama bisa dianggap melakukan “kristenisasi” umat. Berkumpul di gay spa memungkinkan seorang pria mengatakan “Joe Taslim itu ganteng ya,” tanpa dicibir laki-laki kok naksir laki-laki.
Semua orang butuh istirahat.
Interaksi sosial, seperti berkumpul dan mengadakan dialog dengan sesama komunitas, biasa terjadi di area selasar atau lounge dalam sebuah gay spa yang umumnya dibagi menjadi beberapa area. Selain area selasar, gay spa menyediakan area lain, seperti resepsionis, ruang loker, gym, kolam berendam air hangat, steam room, sauna, bilik mandi, dan yang “kontroversial” bagi beberapa orang adalah area yang dinamakan dark room.
Dark room adalah alasan kenapa gay spa tertutup buat mereka yang masih di bawah umur. Seperti namanya, ruangan ini dilengkapi penerangan yang minim dan berbentuk seperti labirin. Pengunjung, sambil mengenakan handuk, bisa berjalan menyusuri lorong-lorong gelap bersama pengunjung lain. Di dinding labirin juga terdapat pintu-pintu yang isinya kamar-kamar kecil yang tidak bisa diisi orang terlalu banyak. Kegiatan yang terjadi di dalam dark room adalah antara pengunjung saja; bukan dengan karyawan atau siapapun yang dipekerjakan oleh gay spa.
Dark room mengingatkan kita bahwa seksualitas adalah kebutuhan dasar manusia dewasa. Jika ada dua orang yang masuk ke dalam bilik di dark room, itu berdasarkan kesepakatan dua orang dewasa, dan mereka pun melakukan kegiatan dewasa tersebut di dalam privasi pintu bilik.
Buat saya, ini menangkis tuduhan bahwa gay spa adalah tempat prostitusi. Malahan, gay spa adalah sarana memerangi prostitusi. Di gay spa, pengunjung bisa mendapatkan kebutuhuan dasar biologisnya (jika ia mau) tanpa harus membayar orang lain untuk jasa. Jika ada uang yang dikeluarkan, itu adalah biaya untuk perawatan fasilitas spa (seperti gym, sauna, handuk, kolam, dan sebagainya). Artinya, ketika kebutuhan dasar manusia sudah terpenuhi dengan pergi ke gay spa, pilihan untuk mendapatkan hal yang sama melalui prostitusi (yang biayanya bisa lebih mahal dari biaya masuk gay spa) bisa ditekan.
Dark room adalah alasan kenapa gay spa tertutup buat mereka yang masih di bawah umur.
Tidak semua pengunjung gay spa memanfaatkan fasilitas dark room. Beberapa dari mereka bisa datang hanya untuk ngobrol dan bersosialisasi saja dengan pengunjung lain berlatar belakang yang sama di area selasar. Sama seperti ketika Anda ingin bertemu dengan teman-teman SMA, reuni temu kangen universitas, atau datang ke pengajian. Anda datang dan merasa nyaman karena orang-orang yang ada di situ memiliki satu hal yang sama dengan Anda.
Orang lain boleh tidak menyukai teman-teman Anda, universitas Anda, atau kelompok pengajian Anda, tetapi berkumpul dengan mereka membuat Anda tidak merasa sendirian. Ketika merasa tidak sendirian, Anda tidak mudah stress, lebih produktif menjalani hari-hari Anda, dan mampu menjalani fungsi di masyarakat dengan lebih baik.
***
Gay spa ini memang tidak cocok untuk semua orang. Cara memerangi prostusi seperti ini mungkin juga tidak sesuai dengan semua orang, tetapi tidak semua orang cocok menahan kebutuhan biologisnya dengan belajar mengaji. Belajar mengaji mungkin adalah jalan yang ideal bagi sebagian orang, tetapi apa yang ideal buat sebagian orang belum tentu ideal bagi sekelompok yang lain. Memaksakan cara idealnya kepada orang lain sebagai satu-satunya cara adalah salah.
Tidak semua pengunjung gay spa memanfaatkan fasilitas dark room.
Mungkin dari kacamata masyarakat awam fasilitas ini aneh. Di kalangan homoseksual pun tidak semua gay setuju dengan gay spa. Namun, dalam hidup bukankah kita banyak menemukan hal-hal yang tidak cocok buat kita? Misalnya, saya secara pribadi tidak setuju dengan konsep cadar, karena bagi saya itu adalah opresi bagi tubuh perempuan. Namun, saya sadar bahwa manusia harusnya memiliki otoritas atas tubuhnya sendiri, dan membuat pilihan-pilihan atas tubuhnya sendiri merupakan hak mutlak setiap individu yang harus dihargai oleh semua orang. Jika ada seseorang yang dengan sadar mengenakan cadar, dilakukan dengan keikhlasan, dan bukan karena tekanan, saya tidak bisa menggunakan standar pribadi saya untuk orang tersebut. Inilah yang dimaksud dengan toleransi.
***
Saya merasa kekhawatiran masyarakat tidak perlu berujung pada penangkapan atau penutupan fasilitas minoritas jika kepolisian bisa memberikan pengayoman kepada masyarakat awam. Sejauh ini, saya merasa pihak kepolisian sudah melakukan tindakan yang tepat, seperti melakukan dialog dengan beberapa kelompok aktivis perempuan di kediaman Kapolri Jenderal pada Senin, 23 Oktober 2017 kemarin terkait korban pemerkosaan. Karena salah satu misi kepolisan adalah memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan secara mudah, responsif dan tidak diskriminatif, alangkah lebih tepatnya jika pintu diskusi juga diberikan kepada kelompok LGBT sebagai kelompok minoritas yang kerap terpinggirkan dan rentan akan tindak kekerasan.
Namun, dalam hidup bukankah kita banyak menemukan hal-hal yang tidak cocok buat kita?
Kami berharap sebuah diskusi yang santai dan kekeluargaan dapat dilakukan di kemudian hari untuk mencegah kesalahpahaman masyarakat awam. Saya sadar, LGBT pun bukan berarti bebas kesalahan, tetapi seseorang tidak bisa pasti bersalah dalam bermasyarakat hanya karena ia dilahirkan dengan kecenderungan yang berbeda.
Sumber: http://melela.org/
Blogger Comment
Facebook Comment