LGBT sudah lama melekat di simbol-simbol budaya Nusantara


Pro dan kontra mengenai keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) memang sedang hangat belakang ini. Bahkan Majelis Ulama Indonesia menolak segala bentuk propaganda ataupun promosi serta dukungan bagi LGBT di Indonesia.

Tentu pro dan kontra ini harus dilihat dengan jernih. Lalu bagaimana pandangan Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono juga Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia mengenai LGBT ini. Menurut dia, keberadaan LGBT sejatinya sudah lama melekat di simbol-simbol budaya Nusantara. Salah satunya di kesenian Reog Ponorogo.

Berikut petikan wawancara Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono mengenai LGBT dari kacamata Psikologi. 

Hal apa saja menjadi penyebab kecenderungan homoseksualitas pada diri seseorang?

Ada tiga dugaan penyebab homoseksualitas. Yang pertama, yakni homoseksualitas karena faktor genetik. Faktor ini asalnya dari hal-hal yang terkait dengan cabang Neurosains (Neuroscience), atau struktur otak si manusianya sendiri. Nah inilah LGBT asli yang merupakan bawaan sejak lahir.

Kemudian yang kedua, ada penyebab homoseksualitas karena faktor budaya. Contohnya itu dari dulu ada dalam budaya Reog Ponorogo, di mana ada pemimpin Reog yang namanya 'Warok' dan memiliki kesaktian tertentu. Nah, agar tetap sakti, Warok itu enggak boleh berhubungan intim dengan perempuan, karena diyakini bisa hilang kesaktiannya. Jadi para Warok ini kemudian memelihara 'Gemblak' (yang menaiki kuda lumping dalam pementasan seni Reog), yang juga berperan sebagai selir pribadinya. Gemblak itu biasanya adalah laki-laki yang tampangnya cakep-cakep, dan di dandani seperti perempuan. Nah Gemblak itulah yang kemudian menjadi teman main seks bagi si Warok ini.

Jadi sebenarnya, memang ada simbol-simbol budaya di nusantara ini yang sudah lama melekat dengan kultur LGBT itu sendiri. Bahkan di beberapa masyarakat India, kelompok LGBT ini dispesialkan karena dianggap bisa mengobati orang sakit. Jadi kalau ada orang yang sakit, mereka yang LGBT ini dipanggil, dan diminta untuk berdoa guna memohon kesembuhan bagi si sakit. Jadi ada LGBT yang di budaya tertentu justru dipandang sebagai bagian dari kultur itu sendiri. Lalu yang ketiga, ada juga yang menjadi LGBT karena faktor psikologi, seperti misalnya karena trauma. Trauma ini terutama pada perempuan ya, karena perempuan ini kan perasaan seksnya agak berbeda dengan laki-laki yang agresif.

Perempuan itu kan inginnya dilindungi, diperhatikan dan diberi kasih sayang. Nah misalnya tiba-tiba perempuan ini sama pasangan lelakinya dizalimi hingga dia trauma, kemudian dia bertemu dengan seorang perempuan LGBT (lesbi) yang bisa memberikan kenyamanan, maka berkemungkinan lah si perempuan ini juga menjadi lesbi karena trauma terhadap lelaki dan menemukan kenyamanannya dari teman perempuannya yang lesbi itu. Kalau laki-laki, biasanya karena urusan duit sehingga mereka mau melayani sesama lelaki, itu juga bisa.

Selain Reog Ponorogo, budaya apa lagi di Indonesia ini yang sudah sejak lama bersinggungan dengan LGBT?

Selain Reog, ada budaya di suku Bugis, Sulawesi Selatan, yang mana masyarakatnya membagi kategori jenis kelamin ke dalam lima klasifikasi, yakni: Laki-laki (Oroane), Perempuan (Makunrai), Laki-laki yang seperti perempuan (Calabai), Perempuan yang seperti laki-laki (Calalai), dan yang tertinggi adalah bukan laki-laki juga bukan perempuan (Bissu). Jadi Bissu ini adalah mereka yang LGBT, tetapi tidak dianggap waria atau banci. Namun, mereka ini dipercaya memiliki kesaktian dan peran ritual, karena dianggap sebagai perantara antara manusia dan dewa.

Menurut Anda, bagaimana seharusnya LGBT bersikap kepada masyarakat begitu juga sebaliknya?

Balikkan saja seperti dulu lagi. Saya bisa mengerti dan saya bisa menerima lah. Jangan ada diskriminasi. Karena dari dulunya juga enggak ada masalah kok. Jadi menurut saya, para LGBT itu sebaiknya jangan sampai melanggar norma masyarakat secara terbuka, atau jangan melanggarnya di sektor publik. tetapi kalau di sektor privat, semua orang ya boleh lah ngapain aja. Termasuk bahkan yang heteroseksual pun misalnya mau selingkuh dan lain sebagainya, kalau dia mau melakukan di sektor privat ya enggak apa-apa, tetapi jangan di sektor publik.

Untuk masyarakat yang menentang LGBT dengan keras berdasarkan teks-teks suci agama, sekarang saya tanya: Agama apa pun, termasuk Islam yah, yang menentukan sebuah hal itu termasuk dosa atau bahkan kafir, itu siapa sih? Tuhan kan?. Nah kenapa manusia jadi sok ikut-ikut menentukan?. Emang kita Tuhan? Saya pribadi memahami hal ini, karena sebenarnya memang banyak fenomena saat ini di mana ada sejumlah orang yang memang mau jadi Tuhan, dengan menghakimi siapa pun yang tidak sepaham dengannya.

Apa urusannya manusia yang anti LGBT itu dengan para LGBT sendiri? Orang LGBT itu juga ciptaan Tuhan kok. Biarkan Tuhan saja yang menentukan apakah seseorang itu baik atau berdosa. Karena jangan-jangan, orang yang dianggap sesat karena dia adalah seorang LGBT itu, justru malah lebih baik amalnya daripada mereka yang mengaku normal tetapi menghakimi.

Sumber: https://www.merdeka.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment