Pukul 10 pagi. Sebuah rumah di bilangan Matraman, Jakarta Timur, mulai ramai didatangi para transgender. Rencananya, sang pemilik rumah, Lenny Sugiharto, akan mengadakan kursus tata rias.
Tak lama acara dimulai. Orang-orang itu tampak antusias. Memperhatikan instruksi dan penjelasan dari Lenny. Ketika ragu, mereka segera bertanya. Tapi, yang bikin asyik dari kursus itu adalah para peserta seringkali melempar tawa dan banyolan.
“Ya, beginilah rutinitas sehari-hari di sini. Belajar sambil tertawa,” ujar Lenny selepas acara.
Lenny bukan sekadar tuan rumah. Ia seorang direktur Lembaga Yayasan Srikandi Sejati, lembaga nirlaba yang berfokus pada advokasi transgender. Yayasan ini berdiri pada September 1998 dan berkantor di tempat yang sama yang menjadi lokasi kursus tata rias tersebut.
Menurut Lenny, tujuan pembentukan yayasan untuk “mengembangkan kepercayaan diri pada kelompok waria melalui pemberdayaan” agar “dapat bersosialisasi secara baik di masyarakat." Tujuannya, masyarakat dapat menghormati hak-hak orang lain.
Sejak pertama kali beroperasi, Yayasan Srikandi Sejati sudah punya anggota sekitar 2.900 orang, tersebar di seluruh wilayah Jabodetabek dan sekitarnya. Program-program yang mereka jalankan di antaranya lokakarya, bantuan hukum, serta penyuluhan dan pendidikan HIV.
“Pada kenyataannya, kerja-kerja kami bergerak di bidang sosial. Selain mengadakan kursus-kursus keterampilan, kami juga membantu teman-teman waria ketika mereka dalam masalah seperti bagaimana melakukan pendekatan kepada keluarga. Selama tidak kriminal dan narkoba, pasti akan kami bantu,” tegasnya.
Tercatat, Yayasan Srikandi Sejati pernah dan masih bekerja sama dengan sejumlah lembaga internasional. Model ini dimanaaftkan untuk mendukung ekonomi waria seperti pinjaman modal, pelatihan, hingga pemberdayaan kelompok transgender dalam program penanganan maupun pencegahan HIV.
Dilecehkan Masyarakat
Menurut Lenny, meski yayasan sudah berjalan dalam tempo lama, kelompok LGBT masih jadi sasaran kebencian. Misalnya, dianggap sepele dan dipandang rendah oleh masyarakat, hingga dimarjinalkan pemerintah. Hal-hal macam ini "biasa" dialamai kelompok transgender, katanya.
Belum lagi soal tekanan bermotif moral dan agama, yang acapkali menyudutkan kehadiran transgender di tengah masyarakat. Khusus poin terakhir ini bahkan sempat membuatnya “waswas” dan “mundur perlahan.”
“Seharusnya jika ingin mengaitkan dengan moral, tentu tak hanya ditujukan ke LGBT saja. Ada banyak masalah di luar sana yang bersinggungan dengan moral dan lebih parah dari LGBT, namun tak pernah dibahas," ujar Lenny.
"Mungkin karena LGBT jumlahnya kecil, maka bisa lebih mudah dimanfaatkan sebagai konsumsi bagi pihak-pihak tertentu. Yang jelas masalah moral dan dosa itu bukan urusan manusia,” kata Lenny.
Yulianus atau biasa disapa Mami Yuli, Ketua Forum Komunikasi Transgender se-Indonesia (FKWI), mengungkapkan tantangan kelompok LGBT di Indonesia umumnya menghadapi argumen berbasis agama. Pandangan moral ini bisa berubah jadi kebencian, yang dibawa "kelompok tertentu", dan justru ditampung pemerintah.
“Negara kita, kan, dasarnya hukum. Bukan agama. Tapi, banyak dari mereka, kelompok-kelompok tertentu ini, yang membawa semangat agama," kata Mami Yuli. "Sayangnya, peran pemerintah untuk menghentikan itu tidak ada. Ujung-ujungnya dibiarkan,” tambah dia.
“Diberdayakan, enggak. Dihujat, iya. Hak hidup kami seperti enggak ada. Ketegasan pemerintah di mana?” Mami Yuli protes.
Bagi Edgar, bukan nama sebenarnya, penolakan terbesar datang dari pansangan konservatif keluarganya. Pria berusia 25 tahun ini mengatakan keluarganya memegang teguh prinsip serta keyakinan bahwa "gay adalah penyakit" dan karenanya bisa "disembuhkan."
“Keluarga gue enggak pernah welcome dengan preferensi seksual gue,” kata Edgar. “Mereka cenderung ngelihat homoseksualitas gue sekadar fase, yang kemudian udah berlalu dan sekarang gue udah ‘sembuh.’”
Teman-teman Edgar, yang memutuskan coming out atas seksualitasnya, dalam fase hidupnya juga mengalami diskriminasi, persekusi, hingga kekerasan.
“Beberapa diusir dari rumah. Ada yang dapat ancaman dibunuh. Ada yang dapat kekerasan fisik dari lingkungan terdekatnya. Ada juga yang mau dibawa ke tempat terapi,” tambahnya.
Riska juga pernah mengalami hal serupa. Keluarganya, yang berpandangan konservatif-religius, memang mengabaikan orientasi seksualnya sebagai lesbian. Meskipun, ujarnya, “Mereka tidak akan pernah paham apa yang gue jalani.” Keluarga Riska hanya berpesan agar tetap bisa menjaga diri dan “berperilaku baik.”
Riska mengalami diskriminasi saat hendak mengejar karier. Ia ditolak bekerja di pemerintah dan gagal mendapatkan beasiswa ke luar negeri karena menyatakan secara terbuka preferensi seksualnya. Dalam lingkungan sehari-hari, Riska sangat sering mendengar celetukan yang menyindir seksualitasnya.
“Gue sikapi dengan humor aja. Tapi bukan berarti ini bisa ditoleransi. Ini gambaran kecil bagaimana masyarakat melihat LGBT," ujarnya.
"Di luar sana masih banyak sekali perlakuan diskriminasi yang ditujukan kepada kami. Entah diusir keluarga, ditekan kampus, hingga dijadikan meme-meme yang sangat shaming,” tambah Riska, kini bekerja penasihat hukum Arus Pelangi, lembaga nirlaba yang berjuang mewujudkan keadilan dan hak-hak LGBT di Indonesia.
Sumber: https://tirto.id/
Blogger Comment
Facebook Comment