“Tidak peduli Kamu jatuh hati pada siapa, yang terpenting Kamu bahagia.”
Kalimat itu terus saja aku ucapkan untuk diriku sendiri. Entahlah, aku berharap ini bisa menjadi motivasi bagi hidupku. Tapi semakin dipikirkan, tanganku semakin berkeringat, degup jantungku semakin cepat, dan tentunya tambahan nyeri di perut yang mulai menjadi-jadi. Ya benar. Ini tanda aku sedang mengalami gugup yang teramat sangat. Mataku memandang pantulan bayang di cermin. Meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu.
“Tidak peduli Kamu jatuh hati pada siapa, yang terpenting Kamu bahagia,” gumamku lagi pelan.
Sebaris pernyataan yang menyelamatkan hidupku. Sebelas tahun lalu, saat kami duduk di bangku kuliah, ucapan itu mengalir begitu saja dari sahabatku. Setelah pergelutan yang luar biasa antara aku dan diriku yang lain, akhirnya aku memutuskan untuk menerima diriku yang lainnya sebagai pertanggung-jawaban atas perasaanku sendiri. Hari itu aku punya alasan untuk bernafas lebih benar. Melonggarkan topeng yang selama ini sesak aku kenakan.
“Sayang, Kamu siap?” panggil seseorang dari luar kamar.
Aku kembali menatap bayangku di depan cermin. Masih mendapati sosok yang sama. Lalu perlahan menarik nafas panjang.
“Ya, aku siap.”
***
FLASHBACK ON
Seorang gadis mengenakan kemeja coklat dan jins biru tampak kesal dengan kertas yang dipegangnya. Dia hanya menatap kertas itu dalam diam. Di sampingnya, seorang gadis berambut panjang yang memakai kemeja biru serta jins hitam, hanya memandangnya bingung.
“Kenapa sih Pelangi? Itu wajah ketat banget kayak plastik parsel,” ucap gadis berambut panjang tadi.
“Biodata..” balas gadis yang disebut Pelangi tadi.
“Kenapa dengan biodata? Kita kan mau masuk UKM, ya harus isi biodatalah, masa isi akta nikah?” balasnya sambil menyerahkan pulpen.
“Bukan gitu, aku selalu kesal dibagian jenis kelamin, lelaki atau perempuan, buat apa coba, yang penting kan manusia. Itu bakal lebih nyaman buat orang kayak aku” jelas gadis berambut pendek itu. Penampilan Pelangi tidak ada bedanya dengan anak cowok yang baru lulus SMA. Sama-sama boyish dari cara berpakaian dan kadang sikapnya.
“Bentar deh, kayak Kamu?”
“Iya, kayak aku.. yang perannya lahir ke dunia ini, bakal terus jadi nomor dua di keluarga, yang kadang ayahku nggak pengen aku ada, dan yang sering diremehin kalau jadi pemimpin.
“Aku nggak pengen lahir jadi perempuan, walau takdirnya udah bawa gunung dua di depannya,” jelasnya panjang.
“Pelangi, jangan bawa-bawa gunung. Berat. Dilan bahkan nggak akan kuat. Kayaknya nih ya, kalau pandangan Kamu sekolot itu tentang perempuan, kayaknya ada yang salah di pandangan Kamu.”
“Seandainya dulu aku lahir jadi anak lelaki, semuanya pasti beda banget..”
Gadis yang tadi dipanggil Rani itu diam. Menatap ke depan sambil berpikir sejenak. Hari ini mereka duduk di bangku taman kampus yang mengarah langsung ke lapangan anak olahraga. Awalnya mereka ingin menulis permohonan untuk bergabung di klub olahraga. Mengisi biodata adalah salah satu syaratnya. Tidak tahu-menahu dia tentang kebencian Pelangi terhadap biodata.
***
Aku menundukan kepala. Masih kesal dengan secarik kertas di tanganku. Sebenarnya tak apa bagiku mengisi biodata, tapi yang paling menyebalkan adalah detik-detik mengisi jenis kelamin tersebut. Mencoret lelaki sebagai bukti bahwa aku memilih menjadi perempuan, itu suatu hal yang meragukan bagiku. Karena aku lebih ingin menjadi lelaki. Supaya apa yang selama ini kurasakan dianggap ‘NORMAL’.
“Kalau Kamu cuma mau digambarin sebagai manusia, berarti kamu yang paling menolak perbedaan itu sendiri,” balasnya.
“Denger yah sumpit pangsit, Kamu itu perempuan. Tuhan cuma ciptain dua jenis. Lelaki dan perempuan. Yang panjang dan yang nggak ada. Itu jenis kelamin. Kalau soal posisi kamu sekarang, peran kamu sekarang, ya kamu bisa ngerubah kondisi itu kok. Dunia berubah! Buktinya, ibu single parents banyak yang bisa buat anaknya sukses, presiden kita pernah tuh perempuan, kalau nggak ada perempuan, percayalah hidup bakal amat sangat ribet! masih banyak hal yang bisa dilakukan perempuan, itu buktiin kalau perempuan itu nggak seremeh pengalaman pribadi kamu,” timpalnya.
“Jadi.. perempuan yang ….”
“Yang apa?”
“Yang… menyukai perempuan, Kamu bisa sebut mereka apa? Mereka mungkin lebih berharap jadi lelaki?” kataku gugup.
Dia diam lalu memandangku.
“Makanya, yang dibaca jangan cuma brosur supermarket, lemot kan jadinya..”
“Ih, Rani!”
“Perempuan suka perempuan, disebut Lesbian. Mereka berarti homoseksual, ya jangan salahkan jenis kelamin mereka waktu lahirlah, kalau cinta ya cinta aja. Toh juga di biodata dibuat pilihan jenis kelamin, bukan orientasi. Jangan drama dilema deh karena begituan..”
Aku mencubit pipi temanku.
“Eh, tutup odol, ya jelas lah nggak ada, yang diakui di negara tercinta ini kan cuma heteroseksual!”
“Sekalian ngelindungin privasi kan? kalaupun ada, mana ada pilihannya. Isi sendiri! Siapa tahu ada yang memilih membelah diri..” tawanya.
“Idih, becanda mulu kamu!” jawabku sambil mengalihkan pandangan.
Dia tertawa puas melihat tingkahku. Ada saja jawaban dari gadis di sampingku ini. Aku baru sadar bahwa selama ini aku hanya fokus dengan ketidak-puasanku terhadap posisiku. Sampai sekarang alasanku ingin lahir menjadi lelaki, supaya perasaanku bisa masuk di akal, bisa diterima. Hingga kadang aku terlalu sering mengutuk Tuhan atas ciptaannya terhadap sosokku. Aku baru mengerti, yang aku hadapi sekarang bukan masalah ‘barang bawaan’ tapi masalah ketertarikanku. Jenis kelamin mungkin bukan hak aku untuk memutuskan, karena Tuhan yang punya rancangan dalam hal itu. Tapi orientasi? Aku bahkan tidak bisa menahan pada siapa aku jatuh hati.
“Tapi gimana dengan transeksual?”
“Kamu bego ya Pelangi?” jawab Rani datar. Wajahnya yang datar menatapku.
“Ha?”
“Kamu survei aja sana, mereka lebih suka dipanggil ‘Manusia’ atau diterima sebagai pribadi yang mereka nyamanin? Lagi pula poin yang kita bahas ngalor-ngidul kayak angkot dari rumah kamu ke kampus, intinya itu penerimaan! Di balik kata ‘Manusia’ tadi, yang pengen banget kamu ciptain di format biodata ini, yah soal penerimaan kan?” katanya sembari menunjuk biodata di tanganku.
“Kok jadi ngegas sih Ran..”
“Emang aku buka usaha jualan gas kan di rumah?”
“Rani, maksud aku kan…”
“Gini deh yah, Kamu lihat abang-abang yang lagi olahraga di sana?” potongnya sambil menunjuk lelaki kekar di sana.
“Lihat…. Kenapa emang?”
“Menurut Kamu dia pakai bokser warna apa?”
“Lah kok?” jawabku kaget.
“Tebak aja, anggap aja kuis berhadiah ..” ucapnya sambil tertawa
“Hitam?”
“Mantab! Tapi aku rasa kuning.”
“Ih! Mana ada cowok mau pake bokser kuning?”
Dia mendelik. Pandangannya seakan meragukan pernyataanku.
“Kalau abang-abang bakso itu?” lalu menunjuk ke arah tempat kami makan biasa.
“Yah gak pakai bokser lah!”
Dia terkejut. Meletakkan telapak tangannya di mulutnya. Menampilkan efek seolah terkejut.
“Kurang zoom in zoom out jadi nggak greget, tapi yah sekarang aku tahulah ternyata kamu ada secret selama ini,..” Ucapnya sambil menyelipkan rambutnya di kuping.
“Apaan sih Rani gebleeek!” ku cubit pipinya lagi.
“Lihat? Bokser hitam, kuning, atau nggak pakai, kita bicara soal kemungkinan. Aku suka permen karet rasa matcha, Kamu suka mint, aku suka bunga matahari, Kamu mungkin melati, aku dulu suka cowok kekar sekeren Ade Rai, sekarang itu nggak banget, ya itu yang aku maksud. Dengan begitu ragamnya pendapat, kemungkinan yang tak terbatas, adanya perubahan dari pilihan yang semakin banyak bermunculan, perbedaan ini yang semakin menarik untuk DITERIMA.
“Aku mengerti dengan jelas waktu kamu maksud ‘manusia’ tadi sebagai simbol, apapun Kamu, siapapun Kamu, Kamu tetap manusia, aku setuju. Tapi perbedaan itu yang bakal buat semakin menarik, jangan fokus ke perbedaannya, fokus ke penerimaannya.”
Aku terdiam lagi. Koreksi banget buat diri sendiri.
“Bener juga ya, perdebatan selalu soal itu. Tapi, nggak semua orang berpikir kayak kamu Ran. Nyatanya malah sebaliknya.”
“Orang kayak aku nggak cuma satu. Bertumbuh dan berkembang biak,” balasnya.
“Dan nggak semua orang kayak aku, punya sahabat kayak Kamu.” Balasku dengan senyum.
“Traktir bakso aja nggak apa-apa kali Pelangi, nggak usah pake melow-melowan,” katanya sambil tertawa kecil.
“Rani.. kalau misalnya orang terdekat Kamu begitu, apa semua pidato Kamu tadi masih berlaku?”
Dia diam lalu memandang ku. Dengan pandangan yang tak bisa kuartikan.
***
“Rani.. kalau misalnya orang terdekat Kamu begitu, apa semua pidato Kamu tadi masih berlaku?” ucapnya pelan.
Aku diam lalu menatapnya. Berpikir sejenak untuk mencerna kalimatnya. Entahlah, aku melihat sinya-sinyal di antara kami.
Otakku mulai loading. Proses. Oke. Aku mengerti.
“Kamu…..Lesbian?” ucapku pelan.
Dia lalu membalas tatapanku. Dia mengangguk pelan. Amat sangat pelan. Mungkin efek slow motion film matriks kalah pelan dengan anggukannya.
Aku masih menatapnya. Menunggu detak jantungku melompat kaget seperti yang aku bayangkan. Tapi tak ada reaksi. Aku masih menunggu sesuatu terjadi pada tubuhku .
“Ran?” dia memanggilku lagi.
Masih dengan posisi yang sama. Masih menatapnya.
“Ran Kamu gak apa-apa? Ma..”
“nggak ada reaksi apa-apa,” potongku.
“Hah?”
Wajahnya tampak kaget.
“Aku nggak mengalami kaget berlebihan kayak novel yang selama ini gambarin di tulisannya,” senyumku. Lalu tertawa memecah kecanggungan di antara kami. Tapi dia masih menatap aku bingung.
“Biasa aja lihatnya. Kayak nggak pernah lihat cewek cantik aja..,” kataku sambil mengalihkan pandangan.
“Ran.. aku Ini Lesbian. Sahabat Kamu… aku harap aku lahir jadi lelaki dulu, supaya apa yang aku rasain sekarang ini masuk logika…. Mungkin sebenarnya bukan aku nggak nyaman sama gimana aku sekarang, aku cuma nggak nyaman sama perasaan aku… perasaan ini datang gitu aja… aku…,” jelasnya gelagapan lalu menatapku.
“Ran… nggak ada reaksi apa gitu? Kaget mungkin? Kamu syok? Jijik kah?”
“Kamu mengharapkan aku kejang-kejang? Atau maki-maki Kamu? Atau bikin syukuran di lapangan kampus ngundang rektor dan kawan-kawannya cuma karena aku tahu Kamu lesbian?”
Dia diam. Ah… di pelupuk matanya menggenang air. Dia sahabatku yang paling bego sedunia. Bagaimana bisa aku memarahinya hanya karena dia jatuh cinta dengan sesamanya? nggak aku banget.
Malah mungkin aku bangga karena dia sudah percaya padaku dan berani keluar dari zona nyamannya. Entah mengapa aku tahu, ada yang berbeda dari dirinya sejak dulu. Bukan karena penampilannya yang boyish, tapi sedari awal memang ada yang mengganjal.
Entah mengapa, aku sangat ingin dia melepasnya. Topeng yang terlalu lama dipakai, seharusnya dia sudah bisa melonggarkannya sekarang.
“Tidak peduli Kamu jatuh hati pada siapa, yang terpenting Kamu bahagia.” Ucapku sambil memeluknya.
“Dengar baik-baik ya, kang cilok, nggak ada yang salah dengan mencintai. Bahkan menurut aku manusia itu nggak bisa apa-apa untuk memilih pada siapa dia memberikan hatinya, tahu-tahu sudah berlabuh saja, tanpa sadar, walau kadang di tempat yang tak semestinya.
“Kamu beruntung, karena aku tipe orang yang menilai dari kebaikan bukan orientasi seksual, gender, atau jenis kelamin sekalipun, tapi yah memang haters everywhere Pelangi, Kamu harus kuat dengan pilihan Kamu nanti,” ceramahku sambil memeluknya
“Rani… makasih banget Kamu udah jadi sahabat aku yang banyak ceramah dan sok puitis…,” dia membalas pelukanku erat sambil menangis.
“Yah kan udah kubilang, makasihnya pake bakso aja.. .tapi yang jual pastiin pake bokser yah,” kataku sambil tertawa. Dan dibalas dengan cubitan di pipi. Tapi dia juga melihatku sambil tertawa.
Aku tersenyum. Sepertinya ada yang bernafas lebih baik dari sekarang.
***
FLASHBACK OFF.
Seorang perempuan berjalan ditengah keramaian. Mengenakan setelan hitam dari atas sampai bahwa. Blazer, kemeja, bahkan rok spannya. Sementara rambutnya yang pendek disisir serapi mungkin. perempuan itu menggenggam lembut jemari seorang perempuan lain berambut panjang, memakai kemeja hitam tanpa blazer dengan rok span hitam senada. Tampak dengan jelas terlekat di jari manis mereka, cincin yang sama.
perempuan yang berambut pendek tadi membawa setangkai bunga dan mendekati peti mati yang dibuka sedikit. Berjaga-jaga apabila ada beberapa tamu yang ingin melihat isinya untuk terakhir kalinya. Di atasnya terpampang dengan jelas senyum ceria dari sahabat perempuan tadi. Rani Nevara . sahabat yang membukakan topengnya dengan cuma-cuma. Sahabat yang menjadikannya pribadi yang menerima jati dirinya. Sahabat yang masih bisa bercanda walau hidupnya tak lagi lama.
Divonis kanker otak di umurnya yang ke-28. Bertahan selama dua tahun katanya mukjizat. Mereka lulus kuliah bersama-sama, lalu bekerja di tempat impian masing-masing, dan harus menerima kenyataan sahabatnya harus pergi lebih cepat dari yang diprediksikan. Bahkan di hari-hari terakhir, dia masih menjadi pribadi yang menawan, dan sahabat yang paling luar biasa. Khasnya saat bercanda masih membekas dengan segar diingatan perempuan itu. perempuan yang mulai meneteskan air matanya secara perlahan.
Mungkin dia tidak siap. perempuan itu belum siap kehilangan sahabatnya. Karena yang dilakukannya saat itu, hanya menatap dalam diam dan membiarkan air matanya terjun bebas tanpa penghalang.. Tak lama kemudian, ia menarik nafas panjang dan meredakan tangisnya secara perlahan.
“nggak keren banget kan ketemu Kamu terakhir kali pake drama segala?” gumamnya sambil tersenyum memaksa. Dia lalu meletakan setangkai bunga matahari di dalam pelukan sahabatnya. Lalu meletakan permen karet rasa matcha. Lalu tertawa pelan.
“Rani.. temukan lelaki tampan di Surga sana ya, tapi jangan yang pakai bokser kuning…” ucapnya lagi sambil tertawa. Dia lalu menatap sahabatnya itu lekat. Ia merasa sahabatnya itu pergi dengan tenang. Mungkin karena ikut senang karena dia sudah menemukan kebahagiaan menurut definisinya. perempuan itu pun tersenyum untuk terakhir kalinya di sana.
“Terima kasih dan berbahagialah.”
***
“Pelangi!”
Aku menoleh ke belakang dan melihat seorang ibu paruh baya yang sangat ku kenal. Ibunya Rani. Dia menatapku dan tersenyum. Aku balik dan tersenyum.
“Rani sempat menitipkan ini sebelum dia pergi..”
Aku lalu menerima secarik surat lalu mengucapkan terima kasih. Ibunya Rani mengelus kepalaku pelan. Kami mungkin terlihat sangat dekat seperti ibu dan anak. Bahkan dulu, Rani kadang marah-marah karena merasa posisi dia sebagai anak tersaingi.
“Mau buka isinya sayang?” kata seseorang di sampingku. Dia pacarku, Renata. Sudah hampir 6 tahun kami pacaran. Dia sangat menyayangiku. Aku pun begitu. Kami menyayangi Rani dengan sangat.
Aku membuka surat itu.
Tertegun mendapati isinya. Lalu tertawa karena mendapati isinya sangat di luar dugaan. Aku mengira surat perpisahan atau wasiat yang akan diberikannya.
Aku menyerahkan kertas ke tangan Renata dan ia menatap ku bingung.
“Sayang..” ucapnya.
“Hm?” balasku.
“….. Biodata?”
Sumber: http://www.suarakita.org/
Blogger Comment
Facebook Comment