Mendengar Langsung Cerita Adhit, Seorang Interseks

Bendera Interseks
Adhitya Dwi Prananta tampak sehat dan bugar saat kami bertemu di Plaza Atrium, Jakarta Pusat, Ahad pertama Februari kemarin. Ia sama sekali tak tampak seperti orang yang baru dua hari keluar dari rumah sakit karena operasi besar. 

“Udah mendingan, Dit?”

“Udah aman, paling masih nyeri-nyeri dikit,” jawabnya.

Empat hari sebelum pertemuan kami, Adhit melakukan mastektomi—operasi pengangkatan payudara. Selain karena masalah obesitas yang membuat pernapasannya terganggu, operasi itu memang dilakukan Adhit sebagai bagian proses transisi—ia diidentifikasi sebagai perempuan saat lahir, tapi merasa diri sebenarnya laki-laki.

Namun Adhit bukan transgender. Ia lahir sebagai interseks—sebutan untuk mereka yang lahir dengan ciri fisik dan kondisi kesehatan yang lebih bervariasi dari apa yang biasa disebut perempuan atau laki-laki. Media di Indonesia sering menyebutnya "kelamin ganda," tapi istilah ini ofensif dan salah kaprah.

“Kalau emang kelamin ganda, berarti punya dua-dua kelamin biner yang utuh. Sementara interseks itu sangat variatif bentuknya,” ungkap Adhit.

Ia benar. Bentuk interseks memang tak selalu sama. Sampai sekarang dunia medis mengenal ada 30 hingga 40 variasi dari interseks. Kondisi Adhit disebut PAIS alias "Partial Androgen Insensitivity Syndrome." Sebagian selnya tidak merespons androgen yang diproduksi tubuh, yang akhirnya mengganggu perkembangan maskulinisasi genital pria. Dan ia bukan keadaan langka. PAIS terjadi pada 1 dari 130 ribu kelahiran.

Populasi interseks sebanyak 1,7 persen populasi manusia atau setara populasi orang-orang yang lahir dengan rambut merah. Prevalensinya 1 per 2.000 bayi. Jika penduduk dunia digenapkan 7 miliar jiwa, artinya ada 140 juta orang dengan interseks. Jumlah ini lebih besar dari 25 kali jumlah penduduk Singapura. Karena itu, interseks bukanlah kondisi yang langka.

Namun, dunia gender biner—yang meyakini hanya ada dua gender, laki-laki dan perempuan—menciptakan situasi yang sulit bagi mereka.

“Saya lahir dengan vagina, tapi tidak memiliki rahim dan ovarium. Secara utuh punya sperma, dan bisa menghamili karena tubuh saya memproduksi testosteron,” kata Adhit.

Namun, karena waktu lahir vaginanya yang lebih terlihat, dokter mengidentifikasi Adhit sebagai perempuan. Atas informasi itu, orangtua Adhit membesarkannya sebagai perempuan. Mereka juga memutuskan untuk memutilasi penis Adhit berdasarkan saran dokter. 

“Kalau sunat itu cuma dirobek. Kalau ini dimutilasi—dipotong,” ujar Adhit.

Hal demikian biasa dilakukan dokter dan orangtua yang punya anak seperti Adhit karena terbatasnya pengetahuan. 

Menurut Kyle Knight, peneliti dari Human Rights Watch, praktik menyarankan anak-anak interseks menjadi salah satu gender biner biasa dilakukan oleh para dokter kepada orangtua, dengan alasan-alasan yang “tak pernah disokong dalam literatur medis mana pun,” tambah Kyle. Misalnya, menakuti-nakuti orangtua kalau anak mereka akan di-bully jika tidak melakukan operasi.

“Mereka adalah anak-anak yang sehat (sebelum operasi). Mereka berbeda, dan itu mungkin menakutkan bagi orangtua. Namun, solusinya adalah memberikan dukungan dan informasi yang akurat, bukan justru menyebarkan rasa takut atas perbedaan dan mengusulkan operasi kosmetik sebagai sesuatu yang disebut solusi,” tambahnya.

Selain itu, operasi-operasi sepihak demikian juga ternyata bisa berdampak bahaya bagi perkembangan fungsi seksual seorang interseks.

Adhit belum merasa dampak yang aneh hingga kini pada usia 26 tahun. Namun, tetap saja ia menyayangkan dan sekaligus marah atas keputusan orangtuanya. Menurutnya, mereka harusnya bisa lebih sabar dan menunggu Adhit dewasa. Adhit juga paham bahwa pengetahuan tentang Interseks memang sangat terbatas.

Adhit sudah merasa beda sejak kecil. Ia lebih senang bermain dengan teman laki-laki, misalnya. Tapi ia dibesarkan sebagai perempuan yang otomatis didikte banyak batasan. Perbedaan itu makin terasa ketika memasuki masa pubertas. 

Adhit remaja tak mengalami menstruasi seperti anak perempuan lain. Orangtuanya mulai teringat riwayat medis Adhit lagi, tapi “mereka enggak terima,” kata Adhit. 

Ia diberi jamu dan obat alternatif lain yang dianggap bisa "menyembuhkan" masalah menstruasinya—yang tentu saja tak mempan.

Adhit tetap merasa berbeda, tapi tak bisa membantah orangtua. Keluarganya religius, dan tak punya budaya diskusi. 

“Tipikal orangtua Indonesia-lah. Anak harus nurut aja dengan orangtua. Enggak ada ruang untuk tanya-jawab,” tambahnya.

Tekanan ini membuat Adhit yang semula bersikap terbuka dan periang jadi lebih tertutup. “Di situ saya beneran ngerasa sendirian. Bener-bener ngerasa gue tuh kayak Alien,” tutur Adhit.

Ia merasa tak ada yang mengerti apa yang ia rasakan, dan tak ada gunanya berdiskusi. Tekanan itu makin parah ketika ia mulai dilabeli orang-orang terdekat sebagai lesbian karena perilakunya yang dianggap lebih maskulin dari "karakter perempuan semestinya." 

Namun, Adhit tak merasa sebagai lesbian sebab di dalam dirinya ia sadar ia laki-laki.

Baru ketika SMA, Adhit pertama kali tahu istilah interseks. Sejak itu ia terus mengisi diri dan mempelajari istilah tersebut. Saat kuliah, ketika mendapatkan informasi lebih mudah, dan teman-temannya punya pikiran lebih terbuka, Adhit bersemangat lagi.

Ia bergabung dengan forum diskusi LGBT di internet. “Di sana ada section khusus untuk interseks,” kata Adhit. 

Ia mendapatkan banyak informasi, dari soal terapi hormon sampai ilmu gender lain. Adhit juga mulai paham hak-haknya, dan ikut berorganisasi. Sejak itu ia lebih bisa menerima dirinya. Ia tidak stres lagi karena teror psikologi yang dialaminya sejak kecil.


Perjalanan Panjang Transisi
Sejak kecil Adhit memang ingin melakukan transisi. Ia selalu merasa lebih laki-laki dibanding perempuan—jenis kelamin yang dipilihkan orangtuanya. Dalam dunia medis hal ini dimungkinkan. Namun, prosesnya sulit dan harganya mahal.

Sebelum akhirnya menjalani operasi mastektomi pada 30 Januari 2018 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, Adhit lebih dulu menjalani sejumlah proses yang melelahkan. Ia sempat pindah tiga kali rumah sakit sebelum akhirnya menemukan yang cocok.

Prosesnya kurang lebih sama: sebelum bertemu dokter bedah, ia harus mengantongi surat keterangan medis yang menyebut dirinya interseks. Ia juga harus melakukan pengecekan kesehatan lengkap lain, yang tentu saja memakan biaya.

Sebelum berakhir di RSPAD Gatot Subroto, awalnya Adhit mengincar klinik kecantikan lebih dulu. “Kalau untuk payudara laki-laki yang membesar itu, kan, ginekomastia. Jadi ketika saya datang, saya tanya bisa enggak untuk handle case ginekomastia. Ketika udah proses, baru saya kasih informasi, saya interseks dan saya perlu operasi,” jelas Adhit.

Namun, rupanya, kasus Adhit tak sesederhana itu. Payudara yang membesar memang perlu diamputasi, dan ada beberapa jaringan otot yang mesti diangkat karena masalah obesitas. Sementara ginekomastia hanya untuk menyedot lemak. 

“Ketika saya datangi klinik kecantikan, mereka enggak bisa karena cuma bisa sedot lemak doang,” tambahnya.

Sebelum berakhir di rumah sakit yang cocok, Adhit juga sempat ke sana-kemari mencari tempat operasi yang bagus. Ia bolak-balik bertanya ke dokter di Yogyakarta, Semarang, dan Medan. Ia bahkan sempat mempertimbangkan ke Thailand. Namun, untuk menghemat waktu, tenaga, dan uang, pilihannya jatuh ke rumah sakit di Jakarta.

“Kalau misalnya dibilang recommended, ya recommended, sih. Tapi dari harga, jauh banget. Jauh banget. Kalau ambil di Thailand, sudah bisa untuk pergi-pulang. Kalau di sini cuma untuk mastektomi doang. Kemarin saya syok juga lihat bill-nya,” kata Adhit.

Karyawan salah satu perusahaan swasta di bidang informasi teknologi ini harus merogoh sekitar Rp35 juta sampai Rp42 juta.

Namun, perjalanan Adhit belum selesai. Ia masih punya mimpi untuk melakukan operasi phalloplasty—perombakan kelamin perempuan menjadi laki-laki—yang harganya lebih mahal, dan prosesnya lebih sulit.

Proses transisi belum berhenti di sana. Adhit masih harus melewati tahap legal. Ia juga harus merogoh kocek, tenaga, dan waktu untuk mengganti identitas gender. Hukum Indonesia memfasilitasi hal ini. Proses ini tidak semudah kedengarannya.

Adhit, sebagaimana para interseks atau transgender yang pernah mengalami proses ini, harus menghadapi petugas yang homofobik. “Hakim kasih dalil-dalil dan nasihat ini-itulah,” cerita Adhit sambil tertawa.

Ia bahkan sempat dimintai uang lebih “bila urusannya di pengadilan mau cepat diselesaikan.”

Semua tantangan ini dihadapi Adhit dengan tenang dan sabar. Ia sadar bahwa ada yang salah dari cara dunia gender biner memperlakukan interseks macam dirinya. Dari perlakukan medis yang semena-mena sejak lahir, diskriminasi sosial, hingga perlakuan negara yang masih belum memprioritaskan minoritas seksual. 

Namun, Adhit tak ambil pusing. Pada saat yang sama, ia sadar bahwa ia manusia yang bebas dan mandiri, terutama untuk mewujudkan mimpinya.

Salah satu mimpi itu adalah untuk berbagi kisahnya kepada orang dengan interseks lain di Indonesia—yang nyata tapi terpaksa dibikin tak kasatmata karena tekanan sosial, agama, dan politik.

Disadur dari Tirto.ID
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment