HRW: Tekanan kepada LGBT tingkatkan infeksi HIV

Human Rights Watch (HRW) menyatakan sejumlah tindakan yang diterima Lesbian Gay Bisexual Transgender (LGBT) seperti penggerebekan pada sejumlah tempat pertemuan homoseksual, mempengaruhi akses terhadap berbagai hal terkait dengan HIV/AIDS sehingga kemungkinan besar meningkatkan tingkat infeksi HIV.
"Penggerebekan-penggerebekan ternyata punya dampak terhadap wabah HIV, karena klub-klub macam T1 Harmoni di Jakarta, atau Atlantis Club di Jakarta, atau tempat-tempat lain adalah hotspot buat para penjangkau HIV mendapatkan pasien-pasien mereka, tempat dia melakukan konseling, kemudian juga tes," kata Andreas Harsono dari HRW yang ikut meneliti dan menulis laporan. 
Ditambahkan bahwa dalam 10 tahun terakhir prevalensi di kalangan laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki meningkat sampai 500%, yang berarti semakin banyak laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki yang terkena HIV.
"Bahkan di Jakarta itu sepertiga dari laki-laki yang berhubungan dengan laki-laki itu kena HIV. Sementara fasilitas untuk menjangkau mereka dengan konseling, dengan tes dan kalau terbukti postif diberi obat, makin tiada," Andreas menjelaskan lebih jauh. 
Penelitian kualitatif yang dilakukan HRW berdasarkan pemberitaan media, mendatangi tempat yang ditutup, mewawancara dokter, perawat dan 46 Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), umur 20-40 tahun, pada tahun 2016-2018 di beberapa tempat di antaranya Medan, Aceh, Jakarta, Surabaya, Cianjur, Jogjakarta, Bali, Pontianak dan Banjarmasin. 
Saat ini mayoritas penyebaran HIV di Indonesia adalah lewat hubungan seks, khususnya dengan pekerja seks, sementara melalui jarum suntik terjadi penurunan. Dari penyebaran lewat hubungan seksual, sekitar dua pertiganya adalah hubungan heteroseksual, sisanya homoseksual. 


Tetapi pemerintah memandang penggerebekan tidak menyebabkan peningkatan infeksi karena obat tetap bisa didapat. Masalahnya ada pada masyarakat sendiri.
"Penjangkau kan komunitas, dan kita berikan dana juga untuk komunitas. Kamu menjangkau ini, kamu dapat sekian. Itu ada di dalam aturan. Jadi kita tidak mengkucilkan orang-orang yang LGBT," kata Dr Wiendra Waworuntu Mkes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung, Kementerian Kesehatan.
Pada tahun 2017, polisi menggerebek sauna, klub malam, kamar hotel, salon dan rumah pribadi yang diduga terdapat LGBT di dalamnya. Sekitar 300 orang diproses karena orientasi seksual dan jati diri seksualnya, menurut HRW. 
Tetapi bagaimana pandangan ODHA sendiri terhadap pernyataan HRW? Salah satunya adalah Herdani Diaz yang sudah positif sejak tahun 2005 dan juga pegiat HIV.
"Ya pastinya sangat miris, sangat memprihatinkan sekali. Saya sudah kurang lebih delapan tahun di dunia HIV. Dan sepertinya makin ke sini, perkembangannya justru makin menurun." 
Heradni mengatakan program-program tersebut seharusnya didukung pemerintah namun entah kenapa beberapa tahun belakangan justru teman-teman LGBT yang dijadikan sasaran, "Jadi bahan pembicaraan atau bahan gorengan di dunia politik." 
Dia sendiri mendapatkan ARV gratis dari Rumah Sakit St Carolus, Jakarta, dan sekarang keadaan kesehatannya membaik.

Penghentian penggerebekan

Untuk mencegah keadaan bertambah buruk, Human Rights Watch, memandang berbagai pihak harus melakukan perbaikan cara kerja, mulai dari polisi sampai ke pemerintah.
"Polisi maupun kementerian kesehatan harus menghentikan segala upaya penggerebekan terhadap kegiatan-kegiatan privat, individu LGBT. Mereka yang ditangkap harus dikeluarkan. Tidak menjadikan kondom sebagai alat bukti. Kementerian kesehatan harus menjamin identifikasi, surat tugas buat para penyuluh kesehatan," kata Andreas dari HRW
"Semenjak komisi nasional penanggulangan AIDS dibubarkan, sekarang tidak ada lembaga yang mengisi kekosongan ini. Kementerian kesehatan harus memasukkan pelayanan kepada LSL, lelaki berhubungan seks dengan lelaki, maupun pekerja seks ke dalam kelompok yang diberikan pelayanan HIV," Andreas melanjutkan. 
Salah satu hal yang dapat dilakukan untuk mengisi kekosongan adalah pendampingan para LGBT untuk menyebarkan informasi dan obat terkait HIV AIDS.
"Ada ketakutan-ketakutan untuk mereka untuk mengakses, memang iya ada. Kita juga punya cara-cara lain bagaimana bisa. Underground lah. Tetap kita mendampingi teman-teman. Ada teman-teman yang takut, kita coba atau apa, yuk kita temenin. Atau mereka yang benar-benar phobia, yang tidak mau ke tempat tersebut, kita coba bantu untuk mengambilkan obatnya," kata Herdani Diaz.
Sementara pemerintah membantah bahwa penutupan tempat-tempat sejenis pelacuran ataupun sauna akan membuat akses masyarakat terkait dengan HIV AIDS menjadi terbatas karena layanan sudah ada sampai ke tingkat kabupaten.
"Dengan ditutupnya tempat prostitusi ataupun apa, maka kita mendorong semua dinas kesehatan kabupaten di daerah untuk membuka LKB, Layanan Komprehensif Berkesinambungan." 
"Semua kabupaten sudah bisa mengakses ARV. Kami menjamin bahwa fasilitas pelayanan kesehatan primer atau puskesmas wajib dibuka untuk teman-teman yang ODHA dan selain populasi kunci itu, mereka adalah LGBT," kata Wiendra Waworuntu. 
Source: www.bbc.com

Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment