Fakta LGBT dalam Sejarah Kebudayaan Indonesia


Isu lesbian, gay, transgender, dan biseksual atau LGBT sebenarnya bukan hal baru di Indonesia. Bahkan, sejarah beberapa suku bangsa di tanah air mencatatnya sebagai bagian dari kehidupan masyarakatnya. Terlepas dari pro dan kontra yang menyertainya, dalam artikel ini kami tidak sedang membahas mengenai polemiknya, melainkan mencoba merangkum eksistensi isu LGBT dalam tiga kebudayaan masyarakat tanah air.

Kami memulai penelusuran isu ini melalui karya sastra klasik Jawa yang paling terkenal, Serat Centhini. Disusun oleh tim pengarang di bawah arahan Pakubuwono V pada abad awal abad 18, Serat Centhini boleh dikatakan sebagai ensiklopedia mengenai kehidupan masyarakat Jawa, mulai dari kebiasaan hingga gejala sosial. Isu LGBT terangkum dalam sebuah kisah mengenai tokoh pemuda bernama Cebolang yang diusir dari rumahnya dan kemudian bergabung dengan kelompok pentas jalanan untuk mencari nafkah.

Suatu ketika, Cebolang beserta kelompok pentasnya tiba di Kabupaten Daha dan melakukan pentas tari di sana. Tak disangka, Adipati setempat ternyata berhasrat pada pria dan kemudian merayu pentolan kelompok tersebut, Nurwitri, untuk berhubungan badan. Karena dirasa kurang memuaskan, sang Adipati lantas mengalihkan perhatian kepada Cebolang yang dianggap lebih maskulin. Meski awalnya menolak, akhirnya Cebolang bersedia melayani nafsu birahi si Adipati. Di balik kepuasan yang dirasakan oleh Adipati, diam-diam ternyata Cebolang turut menikmatinya.

Singkat kata, Cebolang menyadari bahwa dirinya memang menikmati hubungan sesama jenis. Hingga di kemudian hari dirinya berhasil menjadi pentolan kelompok pentasnya, Cebolang pun seakan memiliki kuasa untuk merayu dan menarik perhatian banyak pria berpengaruh di setiap daerah di mana ia pentas. Konon, pengaruh Cebolang tersebut banyak melatari beberapa bentuk kebudayaan tradisional masyarakat Jawa yang bernuasa isu LGBT, seperti salah satunya kesenian reog Ponorogo.

Jika Serat Centhini sering dianggap sebagai bentuk fantasi kehidupan belaka, berbeda dengan kesenian reog Ponorogo yang memperlihatkan secara gamblang praktek homoseksualitas melalui peranan warok dan gemblak. Seorang satki berjuluk warok mempertahankan kesaktiannya dengan cara menghindari hubungan intim dengan lawan jenis yang berpotensi melahirkan keturunan selama masa kejayaannya. Untuk itu, warok pun melampiaskan hasrat seksualnya kepada gemblak, yakni sosok anak laki-laki terpilih berparas tampan. Gemblak biasanya diajukan swadaya oleh keluarga bersangkutan sebagai bentuk doa meminta keberkahan. Oleh karenanya, posisi gemblak tidak pernah terusik, malah justru disegani dan dihormati oleh masyarakat di kawasan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Sementara itu, sikap segan terhadap isu LGBT juga tampak pada tatanan kehidupan masyarakat suku Bugis yang mengenal adanya lima gender. Kelima gender tersebut adalah oroane (pria), makunrai (wanita), calalai (wanita berpenampilan layaknya pria), calabai (pria bernampilan layaknya wanita), dan para gender atau sosok yang tidak jelas jenis kelaminnya, disebut sebagai bissu. Meskipun tidak diketahui jelas jenis kelaminnya, namun bissu seringkali berperangai layaknya calabai. Bedanya, bissu memiliki beberapa ciri fisik yang menguatkan keambiguitasnya, sedangkan calabai secara fisik berbentuk pria utuh.

Dalam epos La Galigo, tersebut jelas bahwa sosok bissu merupakan pengiring lestarinya kehdiupan religius masyarakat Bugis. Disebutkan juga bahwa sejak masa kekuasaan Sawerigading, peran bissu cukup kuat di tengah masyarakat, yakni sebagai sosok suci yang membantu raja dan masyarakatnya menemukan pasangan jiwanya.


Kesimpulan sementara kami adalah bahwa di ketiga budaya tersebut, isu LGBT hadir sebagai penyeimbang kedinamisan hidup masyarakatnya. Dalam Serat Centhini, isu LGBT hadir sebagai semacam harapan kehidupan yang lebih toleran. Sedangkan dalam tradisi warok dan gemblak, isu LGBT hadir sebagai bentuk penempaan diri dalam mempertahankan kesungguhan dalam kehidupan religius. Adapun dalam sosok bissu, isu LGBT hadir sebagai pengawal batas-batas suci, atau sosok yang menjadi pengingat bagi masyarakat Bugis. Esquire
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment