Pemerintah China harus memerintahkan rumah sakit dan fasilitas medis lainnya untuk menghentikan terapi konversi kaum LGBT. Dalam sejumlah kasus terapi itu melibatkan setrum listrik, penahanan dan pengobatan paksa.
Demikian disampaikan kelompok HAM Human Rights Watch yang berbasis di New York, AS.
Laporan LSM ini dibuat berdasarkan wawancara dengan 17 orang yang pernah mengalami terapi yang dikritik secara luas sejak 2009. Laporan bersamaan dengan tumbuhnya kesadaran mengenai hak-hak kaum lesbian, gay, biseksual dan transgender di China.
Pemerintah China sendiri telah menghapuskan homoseksualitas dari daftar penyakit mental lebih dari 15 tahun lalu. Namun kisah keluarga yang mendaftarkan anggota keluarga mereka dalam perawatan yang berusaha mengubah orientasi seksual masih terjadi secara umum.
Yang Teng, seorang aktivis gay China, menjelaskan bahwa seorang dokter di klinik swasta di Kota Chongqing memberikan kejutan listrik ke jarinya saat dia diminta memikirkan saat-saat hubungan seksual dengan seorang pria.
"Pengalaman itu membawa dampak psikologis mendalam pada diri saya," kata Yang, yang bukan merupakan sumber dalam laporan Human Rights Watch (HRW).
Dia menjelaskan bahwa satu kali sesi terapi di klinik tersebut pada tahun 2014 menghabiskan biaya 500 yuan China (sekitar Rp 1 juta).
Dokter sebut LGBT 'sakit' dan 'kotor'
Laporan HRW didasarkan atas wawancara dengan 17 orang yang pernah mengalami terapi konversi gay. Laporan HRW menyebutkan banyak korban terapi konversi dimasukkan ke rumah sakit secara paksa oleh pihak keluarga mereka, yang menjadi subyek tuntutan hukum awal tahun ini.
Pihak rumah sakit kemudian mengunci pasien di kamar rawat untuk mencegah mereka melarikan diri. Menurut temuan laporan HRW, para pasien ini dilecehkan secara verbal oleh para dokter yang menyebut mereka "sakit", "sesat", "kotor". Beberapa di antara mereka harus menjalani "terapi keengganan", yaitu terapi yang memaksa pasien menggunakan obat-obatan untuk nausea sambil menonton pornografi gay, sehingga mereka bisa mengasosiasikan gairah seksual dengan rasa mual.
Masyarakat Tionghoa masih kuat dalam tradisi yang mengutamakan anak-anak yang mewarisi nama keluarga mereka, dan karena pernikahan sesama jenis tidak legal dan pasangan sesama jenis mungkin tidak mengadopsi orang-orang yang sama, gay dan lesbian merasa dipaksa menikah secara heteroseksual dan memiliki anak.
China juga tidak memiliki UU yang melindungi orang dari diskriminasi berdasarkan orientasi seksual atau identitas gender. Hal inilah yang menghalangi korban terapi konversi gay dalam mencari keadilan karena takut orientasi seksual mereka akan terbuka.
Berdasarkan pedoman Komite Kesehatan Nasional, Pemerintah China diharuskan menyelidiki kegiatan rumah sakit yang dapat melanggar Hukum Kesehatan Mental, yang melarang rawat inap paksa kecuali pasien itu dapat membahayakan orang lain. Namun Pemerintah China belum mengeluarkan pedoman jelas yang melarang terapi konversi gay dan meminta pertanggungjawaban pelaku.
Praktik terapi konversi terus berlangsung, menurut Wang Long, aktivis LGBT dari propinsi Zhejiang, karena "banyak dokter tidak peduli dengan homoseksualitas, mengikuti opini umum, yaitu bahwa gay itu tidak normal, penyakit yang harus diobati."
Ruang lingkup aktivitas publik kelompok LGBT pun dibatasi dan penggambaran gay di televisi dan layanan streaming web yang populer dilarang.
Meskipun demikian, para aktivis mengakui adanya kemajuan dalam hak LGBT. Shanghai misalnya telah menyelenggarakan parade gay tahunan sejak 2009 dan sensor internet menolerir perdebatan terbuka mengenai LGBT.
Keluarkan banyak uang untuk terapi
Terapi konversi juga merupakan bisnis menguntungkan. Menurut Boris Dittrich, para dokter dan klinik bisa memasang tarif sampai 30.000 yuan (sekitar Rp 60 juta) untuk "perawatan". Para dokter, kata Yang, memberitahu orang tua bahwa selama mereka bersedia membayar, mereka akan menawarkan obatnya.
"Dan keluarga yang tidak memiliki pendidikan tentang homoseksualitas, akan membayar uang sebanyak mungkin untuk membuat anak-anak mereka bertobat," jelasnya. Pada Juli lalu, seorang pria gay berhasil menggugat rumah sakit jiwa karena terapi konversi ini. Hal ini disambut sebagai kemenangan langka bagi komunitas LGBT.
Pengadilan Zhumadian di provinsi Henan memerintahkan rumah sakit jiwa di kota itu untuk meminta maaf di suratkabar lokal dan membayar ganti rugi bagi pria berusia 38 tahun itu senilai 5.000 yuan. Pria tersebut, yang bermarga Yu, dikurung paksa di rumah sakit jiwa pada tahun 2015 oleh istri dan kerabatnya dan didiagnosis mengalami "kelainan preferensi seksual". Dia dipaksa minum obat dan menerima suntikan sampai dibebaskan 19 hari kemudian. Australiaplus
Blogger Comment
Facebook Comment