Melawan Homophobia Internal


Teman-teman, berikut ini saya lampirkan kutipan pernyataan dari seorang teman saya yang adalah seorang heteroseksual saat kami sedang mengobrol suatu hari di bulan Oktober tahun lalu. Kutipan ini benar-benar keluar dari mulut teman saya tersebut.

“Iya, orang gay itu memang semuanya kayak begitu, Gi, mereka doyan ngeseks sana sini… Dan banyak diantara mereka yang selain menjadikan itu gaya hidup mereka, juga menjadikan itu alat untuk bisa mendaki kelas sosial, supaya karier mereka jadi lebih baik atau diterima di kelompok high society… Mau tahu yang lebih parah lagi nggak, gi? Kebanyakan orang gay yang sudah berpasangan itu pasti punya selingkuhan. Selingkuhan itu mereka sebut sebagai ‘kucing’. Nah dulu gue punya temen ya, Gi, parah banget deh si temen gue itu, Dia sampe bangkrut hanya demi menyenangkan si kucingnya itu, belanjain ini itu, tapi ujung-ujungnya pasti seks. Gila ya memang mereka [orang gay] tersebut…”

Emosi saat membaca kutipan pernyataan teman saya tersebut? Wajar sekali kalau emosi saat membacanya. Kutipannya itu tidak didasarkan data. Lagipula, sifat “doyan ngeseks” (meminjam istilah yang dilontarkan oleh teman saya) tidak hanya dimiliki oleh kaum homoseksual; orang hetero juga doyan seks. Lebih jauh lagi, sifat tidak setia atau promiscuous tidak hanya dimiliki orang homoseksual; orang hetero juga banyak yang seperti itu! Sungguh tidak adil apabila semua sifat negatif yang diungkapkan di atas ditempelkan kepada kaum homoseksual semata.

Kutipan yang saya tampilkan di atas merupakan sebuah contoh manifestasi dari sikap homophobia: sikap tidak suka terhadap kelompok homoseksual yang ditandai oleh stereotip (paradigma berpikir yang menggeneralisasikan sekumpulan label dan atribut kepada sekelompok manusia tertentu; misalnya semua gay pasti hedon dan promiscuous), prasangka (emosi negatif seperti benci, jijik dan takut) dan perilaku diskriminatif (tidak mau berteman dengan orang gay, menghindari gay, melakukan kekerasan terhadap orang gay).

Sikap homophobia ini muncul akibat dominasi kelompok heteroseksual terhadap segala aspek-aspek kehidupan sehingga orientasi apapun yang bukan heteroseksual secara otomatis akan dianggap menyimpang, berdosa dan sakit. Sehingga atribut-atribut yang dimaklumi pada kelompok heteroseksual (orang heteroseksual kalau berselingkuh atau memiliki banyak pasangan seks kasual) akan dihakimi habis-habisan apabila dilakukan kaum homoseksual dan dianggap sebagai “bukti” dari betapa “menyimpang”, “sakit” dan “berdosa”nya kaum homoseksual.

Sikap homophobia ini manifestasinya bermacam-macam: hinaan verbal yang secara langsung dilontarkan oleh seorang teman; lelucon di televisi, radio atau film; penganiayaan secara fisik atau isolasi sosial.

Menariknya, homophobia ini juga bisa mengubah persepsi seorang individu gay terhadap dirinya sendiri. Akibat terpapar sikap homofobik lingkungan sekitarnya selama bertahun-tahun, seorang individu bisa menginternalisasi prasangka yang ditunjukan oleh masyarakat dan BENAR-BENAR PERCAYA bahwa dirinya telah salah dilahirkan, cacat, dan berdosa, serta lebih jauh lagi: bahwa karena dirinya cacat dan berdosa, maka ia PANTAS untuk menerima kekerasan dari lingkungan sekitarnya.  Internalisasi dari prasangka lingkungan sekitar inilah yang disebut sebagai internalized homophobia.

Tentu saja, internalized homophobia memiliki dampak yang sangat merusak bagi kehidupan seorang individu. Semua manusia pasti ingin melihat dirinya sendiri dengan positif. Tidak ada manusia yang ingin dihina-hina dan dianggap rendah. Menurut psikolog Alan Downs, dampak negatif homophobia bermacam-macam: awalnya ini akan menyebabkan rasa depresi  dan kecewa yang berkepanjangan yang kemudian akan memicu berbagai tindakan-tindakan destruktif yang menjadi kompensasi dari rasa depresi tersebut, seperti konsumsi obat-obatan terlarang, perilaku seks berisiko, tindakan agresif, tindakan masokis atau menyakiti diri sendiri, dan bunuh diri.

Lantas bagaimanakah caranya agar kita tidak menginternalisasikan prasangka dari lingkungan sekitar kita? Berikut ada beberapa tips: 
1. Pelajari fakta-fakta (yang tidak bias) 
Apa iya homoseksualitas itu penyimpangan? Berikut saya kutip pendapat Margaret Agusta dalam sebuah artikelnya di website magdalene.co:

“Semua naskah akademis dalam bidang seksualitas manusia, sosiologi, psikologi dan kedokteran mengindikasikan bahwa kurang lebih 15 persen dari populasi global manusia adalah homoseksual, dengan 10 persen adalah gay dan 5 persen adalah lesbian. Saya juga mempelajari dalam studi-studi biologi bahwa homoseksualitas dapat ditemukan dalam berbagai spesies hewan, yang sepertinya berhubungan dengan upaya melestarikan spesies dengan cara merawat anak-anak yang kehilangan orangtua kandung mereka.”

Setelah membaca kutipan di atas, masihkah kamu percaya dengan anggapan bahwa homoseksualitas adalah “pilihan gaya hidup” yang “menyimpang” sebagaimana dikatakan oleh banyak orang?

2. Ingatlah bahwa harga dirimu tidak ditentukan oleh orientasi seksualmu.
Karena orientasi seksual hanyalah sebagian kecil dari siapa kamu. Tidak lebih penting daripada hidung kamu mancung atau pesek atau kulit kamu terang atau gelap. Yang penting adalah kontribusi kamu untuk orang lain dengan apapun yang kamu lakukan.    

3. Tingkatkan self-esteem atau harga dirimu. 
Ini terkait dengan poin kedua di atas. Untuk mengingatkan diri kamu bahwa meskipun kamu dihina oleh lingkungan sekitarmu karena kamu gay, kamu juga punya kelebihan-kelebihan, yang terlepas diakui atau tidaknya oleh orang lain, juga sangat berharga. Oleh karena itu tuliskanlah kelebihan-kelebihan kamu dengan detail di secarik kertas.

Misalnya: Saya mandiri. Di usia 23 tahun saya sudah bisa mencari nafkah sendiri dan tidak perlu  merepotkan siapapun.  

Saya hebat. Dengan pekerjaan saya sebagai… (isi sendiri), saya bisa berkontribusi pada kehidupan orang-orang di sekitar saya dengan cara… (isi sendiri). Lebih dari itu, saya juga menjadi andalan atasan saya. Kalau tidak ada saya di kantor, maka pekerjaan saya akan menjadi… (isi sendiri).  

Saya memiliki belas kasih dan kepedulian. Di kampus saya, saya terlibat menjadi sukarelawan untuk membantu orang lain melakukan… (isi sendiri).  

Setelah diisi, bacalah tulisan itu setiap hari. Ini bukanlah narsisme: memuji kelebihan sendiri adalah sesuatu yang menyehatkan jiwa dan dapat membangun kembali harga diri dan rasa percaya diri.  

4. Terlibatlah dalam kegiatan-kegiatan yang benar-benar kamu sukai, dimana kamu bisa mencurahkan segenap perhatian dan energi kamu ke dalamnya.
Memiliki passion terhadap bidang tertentu akan membantu kita untuk semangat hidup karena passion itulah yang akan menjadi makna dan sumber vitalitas hidup kita. Saat kamu menenggelamkan diri dalam hal-hal yang kamu cintai (misalnya, senang berolahraga, berkesenian, atau menulis), kamu akan merasa benar-benar hidup. Lebih jauh lagi, memiliki passion atau hobi akan membantu kamu menemukan teman-teman yang memiliki minat yang sama.

5. Temukan teman-teman yang ramah terhadap LGBT.
Masih ada kok orang-orang yang ramah terhadap LGBT. Kamu bisa menemukan mereka di forum-forum sosial media atau seminar-seminar bertema gender atau LGBT. Berteman dengan orang-orang yang ramah LGBT dan menghargai kamu terlepas dari orientasi seksualmu akan sangat membantu membangunkan rasa percaya diri kamu lagi sebagai seorang individu.

Semangat ya!

Sumber: http://brondongmanis.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment