AJI Dorong Media Tinggalkan Stigma dalam Memberitakan Isu LGBT


Media diharapkan independen dalam memberitakan isu-isu terkait kesetaraan gender. Lebih khusus isu mengenai kelompok Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT).

Sekjen Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Revolusi Riza Zulverdi mengatakan, hasil riset media oleh AJI Indonesia tahun 2015, media cenderung tidak berimbang dalam memberitakan soal LGBT.

Riset pemetaan pemberitaan terhadap 20 media cetak dan online yang terbit nasional dan lokal, ada 113 pemberitaan. Media online paling sering menurunkan berita soal LGBT, sebanyak 107 kali (86, 99 persen). Sedangkan media cetak hanya 16 berita (13, 01 persen).

Riset ini juga menemukan media turut melekatkan stigma negatif masyarakat serta tak memberi porsi seimbang kepada kelompok LGBT.

“Dan kecenderungan itu, masih terjadi sampai sekarang,” ujar Revo ketika membuka Editors Meeting: Kesetaraan Gender Dalam Perspektif HAM dan Media yang digelar AJI Indonesia dan Ardhanary Institute di Hotel Oria, Menteng, Jakarta, Rabu (09/05/2018).

Diskusi yang menghadirkan belasan editor media multi-platform ini bertujuan melihat pandangan media sekaligus membangun pemahaman soal LGBT. “Media harus adil sejak dalam pikiran. Jangan jadi hakim dalam memberitakan,” ujarnya.

Bayu Wardhana, Ketua Bidang Penyiaran AJI Indonesia menjelaskan, kecenderungan media terjebak pada stigma sosial dalam memberitakan isu LGBT tak lepas dari fakta, rendahnya tingkat pemahaman jajaran pewartanya.

“Setiap jurnalis bisa punya sikap pribadi terkait LGBT tapi ketika menghadapi isu ini dalam pekerjaannya, prinsip independesi wajib berlaku,” kata jurnalis independen.id ini.

Bayu menyentil Kode Etik Jurnalistik (KEJ) serta Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Penyiaran (P3SPS) yang mewajibkan media melindungi kelompok marjinal, tidak diskriminatif dan lain-lain.

Ia membeber sejumlah bias di media terkait LGBT, diantaranya, menempatkan LGBT sebagai pesakitan atau sama dengan criminal, menambahkan atribut orientasi gender untuk menegaskan perbuatan criminal dan membangun atau membiarkan opini LGBT sebagai penyakit menular.

“Dan, media tidak melakukan cover both side, suara dan pendapat dari kelompok LGBT tidak dikesampingkan,” ucap Bayu yang menilai perlu adanya panduan meliput dan pemberian pemahaman isu gender di media.

RR Sri Agustine dari Ardhanary Institute mengungkapkan, selama ini pihaknya tekun mengamati perspektif media dalam memberitakan. Hasilnya, media terjebak stigma yang dibangun konstruksi sosial masyarakat.

Kata Agustine, seksualitas itu kompleks tak sebatas dikotomi berdasarkan alat kelamin. Media memahami seksualitas baru sampai pada heteroseks dan inter-sek. “Ternyata, hasil penelitian menyebut ada 48 karakteristik seksual berdasarkan jenis kromosom,” ujarnya.

Sedangkan Tunggal Prawesri, Aktivis HAM dan Keberagaman Gender menegaskan, kurangnya pemahaman jurnalis ikut berpengaruh dalam produk pemberitaan soal keberagaman gender. Bahkan media cenderung terjebak pada stigma yang menghakimi.

“Masyarakat kita heteronormatif. Konstruksi berpikir kita dibangun hanya atas perbedaan alat kelamin. Tak heran muncul pemberitaan keberagaman gender yang mengusung isu moral, stereotip, sensasional bombastis dan terkesan mengolok-olok,” kata Tunggal.

Eben Haezer, satu diantara peserta menilai pemahaman komprehensif media terkait LGBT perlu menyasar semua tingkat jurnalis. Maksudnya, pemahaman soal independensi pemberitaan soal isu LGBT harus dimulai dari tingkat jurnalis, editor hingga pengambil keputusan di ruang redaksi. “Semoga AJI Indonesia bisa melakukan kampanye ini tanpa terhenti sampai di sini,” kata editor Harian Surya Surabaya ini.

Sumber: http://manado.tribunnews.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment