Kelompok LGBT Enggan Berobat Karena Takut Dipertobatkan


Kebencian terhadap kelompok LGBT. Persekusi dan pemidanaan atas minoritas seksual dan identitas gender. Hak kesehatan.

Sejak gelombang anti-LGBT muncul pada 2016, keberadaan kelompok minoritas seksual dan gender ini makin terpinggirkan. Atas nama moral dan melanggar norma, mereka dipersekusi aparat hukum, diringkus di ruang privat, dijerat UU Pornografi, hingga dipermalukan lewat pemberitaan di media massa. Tak ayal, hari-hari mereka diliputi perasaan waswas, takut sewaktu-waktu dirazia, diperlakukan sebagai warga kelas dua.

Selain menimbulkan ketakutan, aksi-aksi penghakiman oleh parat polisi, pejabat, ormas militan Islam telah memperkecil ruang mereka mendapatkan layanan kesehatan, terutama pencegahan dan penanggulangan HIV, secara maksimal. Gelombang persekusi itu telah menutup lokasi-lokasi tongkrongan mereka (hot spots) tempat biasanya mereka memperoleh akses kesehatan dari para penyuluh.

Tatkala hot spots ditutup, otomatis kelompok LGBT terhambat mengakses layanan kesehatan. Datang ke puskesmas maupun rumah sakit pun sama saja, mengingat mereka kerap menerima stigma negatif dari pekerja kesehatan. Sengkarut ini menebalkan kehadiran kelompok LGBT semakin terancam dan terintimidasi di negaranya sendiri. 

Guna membahas masalah ini, Faisal Reza Irfan dari Tirto mewawancarai Ignatius Praptorahardjo, peneliti pada Pusat Penelitian HIV dan AIDS Unika Atma Jaya Jakarta dan Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan (PKMK) Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Praptorahardjo, bersama koleganya, selama ini terlibat dalam pengembangan program kesehatan bagi kelompok marjinal (pekerja seks, pengguna narkoba, dan warga binaan lapas) melalui LSM Kembang Yogyakarta, Kios Atma Jaya Jakarta, dan RED Institute Bogor.

Laporan terbaru Human Rights Watch menyebut persekusi aparat membuat kelompok LGBT kesulitan mengakses hak-haknya atas layanan kesehatan, terutama pencegahan dan penanggulangan HIV. Bagaimana menurut Anda?

Memang ada benang merahnya antara persekusi dan tidak tersedianya hak-hak layanan kesehatan bagi kelompok LGBT. Persekusi mendorong orang-orang untuk disclose tentang hal ini. Yang selama ini mereka bergerak di tempat tertentu, mudah dijangkau oleh penyuluh dengan alat-alat pencegahan seperti kondom, kemudian hilang begitu saja akibat persekusi. Kemudian, mereka jadi sembunyi-sembunyi, entah lewat media sosial maupun komunikasi personal.

Sehingga, dari sini, untuk menjangkau kelompok LGBT jadi susah. Karena ketika mereka melakukan komunikasi personal lewat media sosial, katakanlah, tidak ada kontrol untuk mengawasi hal itu. Misalnya, kita tidak bisa mengontrol tentang penggunaan kondom dan keamanan saat berhubungan dengan pasangan, apabila mereka sekarang sembunyi-sembunyi.

Maka, segala sesuatu ini berimbas pada jangkauan mereka terhadap layanan kesehatan. Mereka jadi sulit mengakses. Belum lagi stigma yang ditujukan kepada mereka dari penyedia layanan kesehatan soal perilaku seksual hingga tanggung jawab sosialnya. Contohnya, yang paling sering: “Kamu, kok, ganteng-ganteng jadi gay?” Ada semacam moral obligation. Jangan jadi ini, jangan jadi itu.

Kondisi seperti ini menjauhkan kelompok LGBT atas layanan kesehatan. Padahal, setelah aksi persekusi marak terjadi, satu-satunya ruang yang tersedia untuk memenuhi hak-hak mereka adalah fasilitas kesehatan umum seperti puskesmas dan rumah sakit, di mana di dua tempat tersebut mereka berpotensi didiskriminasi dan mendapatkan stigma.

Dampaknya, kelompok LGBT jadi enggan berobat karena takut dipertobatkan akibat stigma yang ada. Mereka khawatir orang-orang menyerang perilaku seksual mereka. Sementara, di saat bersamaan, layanan kesehatan yang friendly juga sangat terbatas, jika tidak ingin disebut nihil. 

Kemudian, akses pencegahan dan pengobatan HIV jadi minim. Mereka tidak berani tes HIV, misalnya. Karena di dalam tes tersebut, mereka akan ditanya macam-macam, terutama soal orientasi seksualnya. Meski bersifat confidential, tapi mereka tetap saja takut. Ada perasaan terancam. Jika pekerja kesehatan mengetahui orientasi seksual mereka, bisa jadi mereka dihakimi dan mendapatkan stigma.

Yang terjadi setelahnya adalah tingkat kecenderungan tertularnya HIV begitu tinggi pada laki-laki dan LSL (gay) berusia muda. Mereka yang berumur di bawah usia 25 tahun, prevalansinya begitu tinggi. 

Saya beri contoh. Di Yogyakarta, ada penelitian yang memperlihatkan bahwa tidak ada perbedaan antara perilaku seks laki-laki yang positif HIV dan laki-laki yang belum tahu apakah mereka positif HIV atau tidak. Tapi, ini juga menunjukkan semua hanya persoalan waktu saja. Sedangkan informasi di lapangan begitu terbatas akibat persekusi. Ditambah, akses kesehatan mereka terancam hilang karena mereka takut datang ke layanan kesehatan publik.

Ujung-ujungnya, mereka yang kena HIV sekali datang berobat sudah dalam kondisi parah. Pengobatan untuk mereka pun jadi sulit. Ini imbas dari perputaran diskriminasi terhadap mereka. Tidak hanya persekusi aparat, melainkan dari masyarakat umum hingga pekerja kesehatan.

Persekusi memaksa hot spots kelompok LGBT hilang. Padahal, di tempat-tempat inilah mereka merasa aman dan nyaman untuk membahas masalah seksualnya tanpa ada ancaman maupun aksi diskriminasi. Para penyuluh pun bisa menjalankan tugas secara maksimal. Apa yang terjadi kemudian?

Sebetulnya, ada solusi yang bisa dilakukan, yaitu dengan covering. Apa maksudnya? Jangan menunjukkan kepada publik kalau LGBT. Misalnya, jangan mengecet rambut dengan warna mencolok, jangan berpakaian secara berlebihan, dan jangan berperilaku feminin. Ini yang disarankan oleh komunitas mereka sendiri. 

Komunitas mengimbau pada anggotanya untuk beradaptasi. Tujuannya, menghindarkan mereka dari olok-olok dan stigmatisasi. Dengan covering itu, mereka bisa mendapatkan fasilitas kesehatan dengan baik dan minim dipersekusi.

Tapi, dengan covering bukan berarti menghentikan masalah yang ada. Para LSL (gay) tetap saja merasa terancam ketika sudah masuk ranah fasilitas kesehatan publik. Dan, lagi-lagi, mereka memilih untuk menghindari itu karena mereka berpotensi ditanya macam-macam tentang perilaku seks mereka yang nantinya bakal membuka identitas mereka sebagai gay. Ada potensi mereka bakal kena stigma di fase ini.

Maka, jadinya, seperti yang saya jelaskan sebelumnya, para LSL lebih memilih bersembunyi. Ujung-ujungnya, di tengah akses kesehatan yang minim, kami sulit mendeteksi penyebaran HIV di populasi ini. Otomatis, penularannya menjadi cepat dan ketika mereka datang untuk berobat, kondisinya sudah parah dan sulit disembuhkan.

Mengenai penjangkau atau penyuluh. Apa saja tugas mereka selama ini?

Yang utama dari kerja para penyuluh dan penjangkau adalah menjangkau komunitas yang selama ini sulit memanfaatkan layanan kesehatan sebagaimana umumnya. Contohnya, ya, kelompok LGBT. Para penjangkau ini bekerja jemput bola. Datang ke lokasi-lokasi di mana anggota komunitasnya sering berkumpul. Misalnya, LSL. 

Penjangkau dari kelompok ini, ya, orang-orang dari komunitas LSL. Pekerja seks, ya, dari komunitas pekerja seks. Karena mereka yang berasal dari internal masing-masing komunitas adalah mereka yang paling paham mengenai situasi yang dihadapi. Yang perlu dicatat lagi: ada peningkatan kapasitas dari komunitas untuk membantu kelompoknya sendiri.

Dalam kerja-kerjanya, mereka memberikan, pertama, informasi, dan kedua, rujukan. Di mana mereka bisa mengakses kondom dan sebagainya. Tapi, masalahnya, kerja-kerja penjangkau ini terkendala dengan persekusi yang ada. 

Ketika mereka turun ke lapangan dan pada waktu bersamaan aparat melakukan penggerebekan, kondom yang mereka bawa untuk penyuluhan dan pencegahan HIV dijadikan alat bukti. Mereka dituduh mendukung adanya seks bebas dan hubungan sesama jenis. Padahal, kondom ini dipakai untuk pencegahan HIV. Bukan malah sebaliknya. Ini yang kemudian membuat mereka ketakutan.

Apa yang terjadi dengan kondom dijadikan barang bukti sama dengan kasus jarum suntik di masa lalu. Para aparat mengira ketika penjangkau membawa alat-alat semacam itu berarti mereka sedang memfasilitasi praktik-praktik demikian. Padahal, sekali lagi, tidak. Dengan alat-alat macam kondom maupun jarum suntik, prevalansi HIV bisa ditekan. Ini alat yang efektif.

Pendekatan dengan alat-alat tersebut sebenarnya pendekatan pragmatis berjangka pendek. Semua dilakukan agar HIV tidak menular ke mana-mana. Memang ada langkah dan pendekatan yang idealis, yaitu berhenti seks dengan gonta-ganti pasangan maupun memakai narkoba. Tapi, kan, itu perlu proses panjang. Siapa yang bisa memastikan untuk tidak lagi seks gonta-ganti pasangan dan tidak lagi memakai narkoba? Tidak ada, kan? 

Nah, untuk mengisi kekosongan itu, disediakanlah langkah pragmatis dengan kondom. Sekali lagi, yang teman-teman lapangan bawa itu adalah alat pencegahan. Bukan membuktikan kalau mereka provide atau memfasilitasi kegiatan semacam itu seperti yang dipikir aparat.

Melalui Peraturan Presiden No. 75 tahun 2006, pemerintah membentuk Komisi Penanggulangan AIDS Nasional, yang tugasnya meningkatkan upaya pencegahan HIV/AIDS secara intensif, menyeluruh, terpadu, dan terkoordinasi. Namun, masa jalan KPAN hanya berlangsung selama satu dekade. Pada 2016, lembaga ini dibubarkan Presiden Joko Widodo. Sebagai gantinya, tugas KPAN diambil oleh dua kementerian. Bagaimana upaya selanjutnya selepas KPAN dibubarkan?

Sebenarnya kami belum tahu secara pasti apa yang akan terjadi selanjutnya dan bagaimana upaya-upaya mengatasi HIV. Tapi, harus diakui, bubarnya KPAN cukup disayangkan mengingat lembaga ini bisa memfasilitasi kelompok yang marjinal secara seksual. Dalam artian, komunitas tersebut bisa berkontribusi dalam upaya penanggulangan HIV karena mereka dilibatkan KPAN dalam pengembangan kebijakan. Mengapa demikian? Karena mereka yang tahu dan paham akar masalah komunitas mereka sendiri.

Tapi, sekarang, ketika tugas penanggulangan HIV dipegang Kemenkes dan Kemenko PMK, ruang keterlibatan yang dipakai KPAN dulu—dengan mengajak komunitas ikut ambil bagian—tidak terlihat. Yang terjadi selama ini adalah dua lembaga itu, terutama Kemenkes, hanya menjadikan komunitas sebagai alat penjangkau tanpa mendengar masukan maupun pendapat dari mereka. Kami masih menunggu bagaimana Kemenkes merespons komunitas sejauh ini.

Sebetulnya saya pesimis. Indikatornya adalah Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dikeluarkan lewat Permenkes (Peraturan Menteri Kesehatan). SPM adalah semacam pedoman layanan yang nantinya bakal diadopsi daerah-daerah. Di dalamnya, termuat rencana dan program-program pelayanan kesehatan masyarakat.

Di dalam SPM itu, salah satunya disebutkan bahwa yang akan diutamakan adalah pelayanan HIV. Namun, saya tidak melihat dua kelompok, pekerja seks dan LSL, masuk prioritas mereka. Otomatis, keduanya bakal terabaikan di daerah-daerah. Mereka tidak akan memperoleh dukungan program. 

Ini yang kemudian membuat saya pesimis dengan Kemenkes dalam merangkul kelompok LGBT berkaitan penanggulangan HIV. Entah apa motivasinya, saya melihat ada indikasi kesengajaan dari Kemenkes atas hal ini mengingat sejak 2016 lalu, isu LGBT begitu sensitif diperbincangkan dengan segala pro dan kontranya.

Konservatisme bangkit di Indonesia. Atas nama moral dan agama, kelompok LGBT disingkirkan. Aparat bertindak represif dan pemerintah mendiamkan. Masih adakah harapan untuk kelompok LGBT dalam mendapatkan hak-hak mereka sebagai warga negara?

Ini yang membuat saya bingung. Bahwa apa yang kita lakukan selama ini, dengan memperkuat komunitas LGBT dan minoritas seksual lain, bakal mentok dengan norma dan agama yang kerap digaungkan. Suara anti-LGBT bakal semakin kuat. Moralitas tentang kesetiaan dan lain-lain bakal selalu diucapkan. Padahal, mereka tidak paham bahwa apa yang dilakukan ini berhubungan dengan nyawa dan hidup orang banyak.

Persekusi yang dilakukan aparat dan kelompok agama, bagaimanapun, bukan barang baru di Indonesia. Ia akan terus ada menyasar minoritas. Saya ragu persekusi bakal lenyap. Ia mungkin akan sembunyi sejenak dan menunggu momentum untuk muncul lagi.

Meski begitu, saya tetap percaya kelompok LGBT punya masa depan di Indonesia, setelah melihat bagaimana upaya-upaya yang ditempuh komunitas lewat adaptasi di masyarakat dan langkah-langkah lainnya. 

Saya kira, kuncinya adalah konsisten mendukung tersedianya pelayanan kesehatan dengan proporsional. Di samping itu, advokasi memperjuangkan hak-hak mereka terus digalakkan. Ditambah, edukasi kepada pekerja kesehatan juga rutin diberikan. 

Meski agak suram di waktu-waktu dekat, tapi apabila langkah-langkah tadi dilakukan secara konsisten dan menyeluruh, pasti cepat atau lambat akan ada hasilnya.

Sumber: https://tirto.id/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment