Suatu malam di bulan Juni 2014, Abhi gelisah. Penyebabnya adalah suntik hormon testosteron yang akan dilakukan esok pagi. Itu suntikan pertama yang akan dilakukannya. Malam itu juga ia langsung mendatangi sahabatnya. Ia meminta sahabatnya merekam suaranya, sebab setelah itu suaranya akan berubah.
Pada saat suntik, ia gugup. Ia tahu betul, suntik ini yang akan menjadi awal perubahan dalam hidupnya. Efek suntik hormon itu langsung terasa pada malam hari. Suara Abhi berubah. Lebih serak. Tenggorokannya pun menjadi sakit. Selama sebulan ia mengalami radang tenggorokan.
"Sakit sekali," kata Abhi.
Sepenggal pengalaman itu diceritakan Abhi saat bertemu saya di salah satu kafe di Plaza Festival, awal Januari lalu. Kami bertemu di sana pukul 7 malam selepas jam kerja. Saya menemui Abhi untuk mendengar kisah hidupnya. Sudah setengah tahun saya berkenalan dengan Abhi, tapi tak pernah tahu jika Abhi adalah trans laki-laki. Trans laki-laki adalah sebutan untuk laki-laki yang terlahir sebagai perempuan.
Malam itu cuaca mendung dan gerah. Abhi mengenakan kemeja lengan panjang coklat yang sedikit kebesaran, dimasukkan dalam celana panjang hitam. Sembari bercerita, ia merokok dan sesekali mengusap keringat yang mengucur terus.
“Apa efek suntik hormon selain mengubah suara?” tanya saya.
“Ini!” Abhi menujuk wajahnya lalu mengulus jenggotnya yang tipis.
Empat tahun suntik hormon rutin itu mengubah total penampilan Abhi. Ia kini berkumis, brewok dan jenggot tipis. Pinggulnya juga meramping, pada saat bersamaan bagian atas tumbuhnya akan lebih berisi. Dari sekian perubahan itu, satu yang benar-benar membuat Abhi merasa berubah adalah berhenti menstruasi.
Abhi terlahir sebagai perempuan. Namun jika bertemu dengannya, Anda tidak akan pernah menyangka Abhi tadinya adalah perempuan. Sehari-hari ia mengenakan pakaian laki-laki. Ia juga pakai kaos khusus yang membuat payudaranya tertekan sehingga tak terlihat menonjol.
Sejak kecil, ia sudah merasa berbeda dengan perempuan yang dikontruksikan masyarakat pada umumnya. Ia tidak suka mengenakan gaun, tidak suka bermain boneka dan tidak suka berambut panjang. Ia malas mengurusnya. Ia lebih suka mengenakan celana jins dan kaos oblong.
Pun dalam permainan dengan teman-teman di komplek rumahnya. Misalnya saat main rumah-rumahan, Abhi menolak mengambil peran sebagai perempuan. Ia selalu berperan sebagai laki-laki. Keluarga Abhi tidak mempermasalahkan itu.
Saat SMA, ia memotong pendek rambutnya, lalu disisir dengan gaya rambut anime Kapten Tsubasa. Namun untuk pakaian, ia tetap harus memakai seragam perempuan, rok abu-abu. Abhi tidak punya pilihan lain.
Bukan cuma penampilan saja yang diupayakan Abhi untuk terlihat seperti laki-laki. Ia juga secara natural menggilai olahraga karate. Meski badannya kecil, tingginya tidak sampai 160 cm, namun ia adalah atlet karate, baik dalam pertandingan Kata (jurus) atau Komite (duel). Waktu masih duduk di bangku SMA, ia sudah memegang sabuk hitam Dan I. Saat kuliah di Yogyakarta, ia bahkan menjadi pelatih karate untuk satpam-satpam di kampus tempatnya kuliah.
Sampai saat itu, Abhi masih bisa menutupi jati dirinya, dan menjadi perempuan seperti yang diharapkan masyarakat. Saat menginjak usia 20 tahun, ia merasakan beban yang berat. Ia merasa tidak menjadi diri sendiri dan merasa hidup sebagai orang lain di balik penampilan perempuan.
“Aku mulai mikir, kalau begini terus, akan makin berat beban di pundakku. Padahal hidup itu tidak hanya mengurusi ini, aku harus kerja, aku harus punya masa depan. Kalau beban ini aku bawa terus, tidak mungkin aku bisa maju,” kata Abhi.
Pilihan Abhi untuk menjadi diri sendiri pertama kali disampaikan lewat tulisan di buletin kampus. Ia menulis resensi buku Gerhana Kembar karya Clara Ng, sebuah buku bertema kisah cinta seorang lesbian. Artikel itu diterbitkan pada 4 Mei 2010, tepat hari ulang tahun Abhi ke 20. Setelah tulisan itu terbit, ia merasa lega dan semakin terbuka. Ia berani bercerita pada teman-teman satu kampusnya soal dirinya, termasuk orientasi seksualnya.
Penerimaan dari teman-temannya itu semakin menguatkan Abhi. Ia pun memberanikan diri untuk bercerita pada orang tuanya. Ia ingat betul detail adegan yang terjadi. Pada saat suatu malam, ibu dan bapaknya mendatangi Abhi di kamar. Abhi dicecar dengan banyak pertanyaan, dari soal penampilan Abhi yang tomboi, orientasi seks, hingga rencana menikah.
“Jangan paksa aku menikah, aku nggak bisa, bisa gila.”
Kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Abhi menanggapi cecaran itu. “Aku nggak tahu aku ini apa, cowok bukan, cewek apalagi. Terserah mau dipanggil setan, demit, bencong. Terserah!” kata Abhi emosi.
Abhi tahu, kedua orang tuanya mencoba menyangkal. Abhi pun memberikan pilihan.
“Kalau nggak terima punya anak kayak aku, aku akan keluar. Kalau nggak mau aku keluar, ya sudah terima aku seperti yang sekarang ini.”
Kedua orang tuanya memilih Abhi tetap tinggal di rumah dan tetap menjadi bagian dari keluarga. Pilihan itu tidak mudah. Setelah itu ada banyak kekhawatiran yang dirasakan keluarga Abhi, terutama bapaknya. Semenjak itu, kata Abhi, bapaknya menjadi lebih perhatian. Bahkan pada saat Abhi akan menghadapi ujian skripsi, bapaknya datang khusus ke Yogyakarta untuk memberi dukungan.
Pun saat wisuda, bapaknya juga datang untuk memastikan Abhi baik-baik saja. Ibunya pun begitu. Berkali-kali bertanya pada Abhi, “Kamu beneran nggak papa, ujian skripsi seperti itu, pakai celana panjang, pantofel?”
Abhi tertawa mengingat pertanyaan ibunya itu. Ia meneguk es capucino, menyalakan rokok, lalu mulai menceritakan problem lanjutan: “Setelah itu, masalahnya adalah keluarga besar.”
“Mereka nggak terima?” tanyaku.
“Kalau lebaran, kan, kumpul keluarga besar di tempat keluarga besar mama. Jadi begitulah,” jawab Abhi.
Abhi merasa sampai sekarang keluarga besar belum bisa menerima pilihannya dengan ikhlas. Semula ia masih ragu, namun pada Idul Fitri 2012, Abhi berani memberi kejutan. Pada saat kumpul keluarga, ia datang dengan mengenakan baju Koko dan celana panjang. Semua mata tertuju padanya. Kerabatnya terheran-heran dan segera mencecar Abhi. Ia tidak banyak bicara. Ia hanya mendengarkan omongan itu sebelah telinga, lalu mengeluarkannya lewat telinga yang lain.
“Jadi manggil kamu sekarang apa?” tanya salah seorang kerabatnya.
Pertanyaan itu membuat Abhi geram sekaligus tidak nyaman. Ia sungguh tidak punya jawaban untuk pertanyaan itu. Abhi tiba-tiba merasa seperti orang asing yang harus memperkenalkan diri pada kerabat dan teman-temannya. Ia biasanya hanya meminta orang-orang memanggilnya Abhi.
Nama itu tentu saja bukan nama lahir. Ia memilih nama itu dengan mempertimbangkan arti nama aslinya dan nama bapaknya. Abhi enggan membuka nama lahir dan identitas lamanya. Ia masih khawatir dengan masyarakat yang belum bisa menerima orang-orang yang memiliki kondisi dan pilihan berbeda.
Menurut catatan Arus Pelangi, sebuah organisasi nirlaba yang fokus dengan isu perlindungan LGBTIQ, pada 2016 ada 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian kepada kelompok LGBT. Sementara sebanyak 89,3 persen LGBTIQ pernah menjadi korban kekerasan.
Rentetan kekerasan terhadap LGBTIQ itulah yang membuah Abhi was-was.
Ia sebenarnya sedang mengupayakan penggantian nama, namun ia masih menimbang, sebab urusannya tidak mudah, terutama terkait pekerjaannya sekarang. Sudah setahun ini Abhi bekerja di sebuah perusahaan asuransi. Teman-teman sejawatnya tidak mengetahui identitas Abhi, kecuali beberapa pimpinan perusahaan. Tanggapan pimpinan perusahaan pun positif, saat Abhi melamar di sana, tidak ada perlakuan diskriminatif terhadapnya.
Sebelum bekerja di perusahaan asuransi, Abhi sudah pernah bekerja di sebuah LSM yang fokus soal isu sosial dan minoritas gender. Ia juga menjadi relawan untuk beberapa kegiatan komunitas LGBTIQ. Ia sedih melihat komunitas LGBTIQ di Indonesia yang selalu didiskriminasi, sementara negara justru memfasilitasi kekerasan itu.
Keluhan itu pernah disampaikan Abhi langsung kepada Menteri Agama Lukman Hakim Syaifuddin. Pada satu kesempatan, Abhi mewakili Arus Pelangi menerima penghargaan Tasrif Award 2017 dari Aliansi Jurnalis Independen. Ia naik ke podium dan sempat sekilas bercerita tentang hidupnya dan bagaimana kondisi kelompok LGBTIQ di Indonesia.
Menteri Lukman tersenyum kecut, tidak memberikan tanggapan apa pun.
“Kalau diingat-ingat, aku kok sampai bisa punya keberanian ngomong di depan menteri. Nggak tahu deh,” ujar Abhi terkekeh.
“Kalau aku jadi kamu pun belum tentu seberani itu,” timpal saya.
Urusan kriminalisasi terhadap kelompok LGBTIQ belakang memang sedang gencar diperbincangkan publik. DPR RI yang sedang menggodok revisi UU KUHP berencana memasukan LGBTIQ tindakan kriminal yang bisa dikenai sanksi pidana. Oleh sebagian politisi, isu ini digoreng untuk popularitas.
Ketua MPR RI sekaligus Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan bahkan membuat pernytaan yang membuat isu ini makin panas. Ia menyebut ada lima fraksi di Senayan yang mendukung LGBT. Tentu saja dia menyebut PAN sebagai salah satu partai yang tegas menolak LGBT.
Kondisi isu ini merugikan Abhi karena semakin menguatkan sentimen negatif. Abhi pun menjadi rentan dikriminalisasi. Ia rentan dipersekusi.
Mirisnya lagi Lembaga survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) baru-baru ini mempublikasikan hasil survei persepsi publik terhadap LGBT selama 2016-2017. Dari 1.220 responden, sebanyak 41,1 persen menyatakan bahwa kelompok LBGT tidak memiliki hak hidup. Lalu apakah Abhi tak berhak hidup?
Sekitar pukul 9 malam, kafe mulai ramai. Kursi di sebelah kami sudah terisi. Kami pun berbincang dengan suara lirih ketika membahas hal-hal yang sensitif. Kami pun menggunakan bahasa kode. Seperti tidak terang-terangan menyebut “LGBT” dan menggantinya dengan kata “teman-teman”, dan operasi penggantian kelamin dengan satu kata “operasi” saja.
“Jadi kamu sudah operasi?” tanya saya.
“Belum. Aku harus kerja dulu, ngumpulin uang buat operasi. Biayanya mahal dan bertahap, tahap satu, dua dan tiga,” jelas Abhi.
Urusan operasi ini memang tidak bisa diputuskan sembarangan. Harus benar-benar dipikirkan matang. Bukan cuma soal keselamatan, namun juga dampak sosial.
Salah satu transeksual yang terkenal dan sudah melakukan penggantian kelamin adalah Dorce Gamalama. Menariknya, meski menjadi transseksual dari laki-laki menjadi perempuan, Dorce bisa diterima masyarakat. Ia bahkan pernah memiliki acara khusus “Dorce Show” di Trans TV dari 2005 sampai 2009. Dalam talk show itu ia dipanggil dengan nama “Bunda Dorce”.
Belakangan aktivitas trans seksual atau transgender di televisi menjadi masalah. Pada Februari 2016, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan edaran yang isinya melarang kelompok LGBT tampil di televisi. Surat edaran ini menjadi babak baru diskriminasi terhadap kelompok LGBT di Indonesia.
Lalu bagaimana nasib Abhi? Abhi sendiri berjuang mendapak haknya sebagai manusia untuk hidup dan diperlakukan sama, karena Abhi sama sekali tidak berbeda.
Dikutip dari Tirto.ID.
Blogger Comment
Facebook Comment