Sebelum bertemu Caesar Abrisam—panggilan akrabnya "Bang Sam"—Handoko (bukan nama sebenarnya) tak pernah tahu istilah interseks. Ia cuma pernah dengar "kelamin ganda," istilah yang dipakai media untuk menggambarkan kelahiran bayi dengan genitalia yang tidak diidentifikasi sebagai pria atau wanita. Sebelum bertemu dengan Sam pula, Handoko mengira dirinya perempuan, yang menyukai perempuan.
Sejak kecil ia memang merasa berbeda. Tubuhnya lebih tinggi dan bidang ketimbang anak perempuan kebanyakan. Ia juga lebih gemar bermain dengan kawan-kawan pria dan robot-robotan ketimbang boneka. Namun, karena lingkungan keluarganya yang religius dan cukup tertutup, ia memendam kebingungan itu sendirian.
Ia makin merasa berbeda ketika SMP mulai punya perasaan kepada kawan perempuan sebaya. Tapi, karena diajari hal tersebut "salah," ia masih terus memendamnya. Perasaan bersalah itu menghantui Handoko.
Ia akhirnya memutuskan untuk memakai jilbab dengan harapan bisa lebih tenang. Ia jengah dengan ledekan dan rundungan kawan-kawannya yang menganggap anak perempuan maskulin sepertinya adalah "aneh."
Pada titik paling stres, Handoko sempat beberapa kali ingin bunuh diri. Tekanan lingkungan dan keluarga yang eksklusif membuat stres dia semakin parah. Namun, sekitar tahun 2013, Handoko bertemu Sam, aktivis isu gender.
“Dari Bang Sam, gue tahu tentang interseks. Dia juga yang nyaranin gue untuk medical check-up supaya emang tahu apa beneran interseks atau bukan,” ungkap Handoko.
Sejak bisa mengingat, pria kelahiran 1995 ini hanya tahu ia dibesarkan sebagai perempuan. Keluarganya tak pernah cerita atau membahas apa pun tentang "kelainan" yang dimilikinya sejak lahir.
Handoko, sebagai remaja putri, bahkan merasa wajar belaka ketika menstruasi tak pernah datang padanya. Anggota keluarganya juga enggan bertanya atau membahas.
Ia ingat pernah dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, ketika berumur 5 atau 6 tahun untuk melakukan pemeriksaan. Tapi, karena keterbatasan biaya, ia tak pernah tahu pemeriksaan medis itu untuk apa. Handoko cuma ingat bahwa ia sempat melakukan cek darah, yang hasilnya juga buram semata dalam ingatannya.
Barulah pada tahun lalu ia menerima pernyataan medis resmi yang menyebut dirinya memang interseks. Handoko tak hapal termasuk variasi interseks yang mana, tetapi ia memiliki penis yang lebih besar dari ukuran vaginanya.
Interseks memang punya banyak variasi. Sejauh ini dunia medis mengenal 30 hingga 40 variasi, yang semuanya tak diidentifikasi sebagai pria atau wanita. Namun, bukan berarti interseks adalah peristiwa langka.
Dokter Ilene Wong, ahli urologi asal Amerika Serikat yang biasa menangani pasien interseks, menyebut ada sekitar 1,7 persen populasi manusia lahir sebagai interseks. Prevalensinya: 1 per 2.000 bayi.
“Ada puluhan kondisi interseks yang berbeda termasuk hiperplasia adrenal kongenital (CAH), sindrom insensitivitas androgen lengkap (CAIS), dan Sindrom Swyer,” kata dokter Wong kepada saya.
Dalam dunia "gender biner"—tempat pengetahuan gender cuma didefinisikan sebagai laki-laki dan perempuan—interseks sering kali disebut "gender ketiga", yang dianggap langka dan minoritas. Eksklusivitas dan pengetahuan yang terbatas tentang topik ini akhirnya menciptakan stigma dan diskriminasi.
Hal inilah yang membuat Handoko enggan dituliskan nama aslinya dalam artikel ini. Menurut Sam, kawan Handoko yang bekerja pada Arus Pelangi, organisasi nirlaba yang peduli kelompok LGBTIQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, interseks, dan queer), sifat tertutup para interseks adalah "hal wajar." Ia sepakat bahwa pengetahuan dan akses informasi yang terbatas menjadi sumber utamanya.
Beberapa sumber saya yang lain bahkan sama sekali menolak bercerita dengan alasan menjaga privasi.
Namun tidak begitu bagi Adhitya Dwi Prananta. Ia cukup terbuka dengan identitasnya sebagai interseks. Menurut Adhit, topik ini penting untuk didiskusikan karena “kenyataannya interseks bukan hal langka."
Operasi Kelamin Butuh Persetujuan Pasien
Salah satu poin penting yang dimaksud Adhit adalah operasi perombakan kelamin kepada anak-anak interseks. Ia mengalami hal tersebut. Penis Adhit dimutilasi saat masih bayi karena orangtuanya menuruti dokter yang menyarankan Adhit untuk jadi perempuan.
Dalam sejarah awal medis modern, interseks biasa disebut dengan istilah DSD—Differences of Sex Development. Ia dianggap keabnormalan dan harus disembuhkan dengan cara dioperasi. Biasanya genitalia seorang interseks akan dirombak sesuai kelamin pria atau wanita saat mereka masih bayi.
Menurut Kyle Knight, peneliti Human Rights Watch, masih banyak dokter yang langsung menyarankan operasi kepada orangtua yang punya anak interseks. Keterbatasan pengetahuan akhirnya membuat orangtua menuruti nasihat itu.
Di Indonesia, menurut dokter Eni Gustina, Direktur Kesehatan Keluarga dari Kementerian Kesehatan, operasi masih dijadikan jalan keluar yang disarankan medis. Namun, semua keputusan tetap diberikan oleh orangtua.
“Ketika dia lahir, kita akan melihat dia dominan ke mana,” kata Eni. “Ada Keputusan Menteri Kesehatan nomor 191 tahun 1989 yang mengatur operasi penyesuaian kelamin.”
Menurut Kyle, operasi macam ini tak perlu terburu-buru sebab "punya risiko besar," termasuk kemandulan dan gangguan fungsi seksual, kehilangan gairah seksual, luka fisik permanen, hingga trauma emosional dan psikologis.
Dokter-cum-psikolog Katherine Baratz-Dalke dari Amerika Serikat berpendapat serupa Kyle. Saat diwawancarai via surel, dokter Dalke berkata bahwa memang ada beberapa jenis operasi yang perlu dilakukan kepada interseks dalam "kasus-kasus tertentu."
Misalnya, pembedahan saluran kencing dalam situasi yang membutuhkan pertolongan segera. Operasi ini tetap punya risiko, tapi “kebanyakan orang setuju bahwa manfaatnya lebih besar daripada risikonya, dan operasi ini biasanya perlu dilakukan saat mereka masih sangat muda,” ujar dokter Dalke, yang juga terlahir interseks.
Namun, operasi lain harus menunggu. Terutama yang alasannya cuma “untuk membuat mereka terlihat ‘normal’,” tambahnya.
Operasi-operasi semacam ini bisanya cuma ditawarkan dengan alasan mengkhawatirkan dampak sosial dan psikologi kepada anak-anak interseks karena punya bentuk tubuh berbeda.
“Jadi berbeda memang sulit—bisa membuat orang diejek dan didiskriminasi, tapi tak ada jaminan kalau operasi juga akan membuat hidup mereka lebih mudah dan gampang diterima,” kata dokter Dalke.
“Risikonya terlalu tinggi dan bahaya. Karena itulah kita membutuhkan persetujuan dari orang interseks itu sendiri. Hanya orang yang mendapatkan operasi dapat membuat keputusan tentang apakah risiko tersebut sebanding dengan manfaatnya.”
Dokter Wong menambahkan, karakteristik eksternal seorang interseks tak bisa cuma dideteksi atau dilihat dari luar—apakah ia terlihat seperti laki-laki atau perempuan standar. Dampaknya bisa fatal jika mengeluarkan diagnosis prematur.
“Dan ketika orang-orang menjalani operasi tanpa persetujuan, mereka sering merasa dijahati, dan beberapa bahkan mengatakan hal itu terasa seperti pelecehan seksual,” ujar dokter Dalke.
Hal itu yang juga dirasakan Adhit jika mengingat ada bagian dari dirinya yang “dibuang” tanpa sepengetahuannya. Tapi, sejauh ini, ia tak merasa ada yang bermasalah dengan kesehatan genitalianya.
“Tapi enggak tahu juga ke depan-depannya,” Adhit masih memendam perasaan kecewa.
Handoko "agak" lebih beruntung. Orangtuanya belum sempat melakukan operasi apa pun kepada dirinya saat masih kecil. Ia kini sudah berada pada usia "consent"—yang dalam hukum di Indonesia sebagai usia dewasa atau 18 tahun ke atas—untuk menentukan akan hidup sebagai pria ke depannya.
Untuk itu, Januari kemarin, Handoko sudah melakukan operasi pemasangan saluran urin pada penisnya. Sebelumnya, Handoko juga sudah mengajukan pergantian identitas di pengadilan yang membuatnya legal tercatat sebagai pria. Ia kini siap memulai hidup baru.
Dokter Wong sadar bahwa penanganan medis terhadap orang dengan interseks adalah "salah satu kegagalan terbesar pengobatan modern."
“Dan saya pikir, kegagalannya sudah sampai level sistemik,” tambahnya.
Ia punya pesan penting buat para orangtua: mulai mengubah pola pikir, dan “ada banyak cara berbeda untuk membesarkan anak kita, dan tidak malu pada diri mereka yang sebenarnya adalah salah satu cara itu.”
Sumber: https://tirto.id/
Blogger Comment
Facebook Comment