Klinik transgender Dili: nasib LGBT di Timor Leste lebih baik dibanding di Indonesia?



Sebuah klinik di Dili melayani transgender dan dikelola transgender, mulai dari staf, relawan, hingga penyuluh kesehatannya. Bagaimana nasib LGBT di Timor Leste, sebuah negara baru yang merdeka dari Indonesia kurang dari 20 tahun lalu?

Semuanya tampak lumrah, dan tak ada bedanya dengan klinik-klinik lain. Sampai kita menyadari sesuatu yang unik: ketiga orang yang sedang sibuk itu adalah transgender perempuan, atau waria.

Memang: inilah klinik transgender dalam artian penuh. Seluruh pengelolanya adalah transgender, dan layanannya diperuntukkan terutama bagi kalangan transgender dan terbuka bagi kalangan LGBT lain: lesbian, gay, biseksual.

Pagi yang hangat di Dili, ibukota Timor Leste. Di sebuah tempat yang menjorok jauh ke dalam di sebuah kawasan ruko sederhana di kawasan Kolmera, tak sampai sepelemparan batu dari Pasar Tais -kain tradisional Timor Leste, beberapa ekor anak ayam berlarian berciak-ciak di pekarangan. Di dalam ruangan dua kamar berukuran sekitar 40m2 itu, Zina Bello, 29 tahun, memulai kesibukan bersama Romiyati Barreto, 38 tahun, dan Pepy, 38 tahun.

Mereka menyiapkan kegiatan sehari-hari klinik C4: Codiva Clinic and Community Center. Zina adalah penyuluh kesehatan di klinik itu, dan Romi adalah pengelola keseharian. Ada pula Pepy, seorang relawan yang mengurus administrasi.

Zina tampil rapi layaknya seorang petugas kesehatan, Romi berbusana cantik, dan Pepy muncul dalam penampilan santai.

Tak lama, tiba seorang pasien: Rihanna seorang waria berusia 26 tahun yang datang dengan berpakaian lelaki.



"Saya datang untuk pemeriksaan darah (tes HIV) dan megecek kesehatan saya menyangkut aktivitas seksual saya sehari-hari," kata Rihanna, yang memilih untuk berbicara dalam bahasa Tetun.

Waria yang sehari-hari bekerja sebagai seorang pramusaji di sebuah restoran itu tak lama menunggu sebelum Zina Bello menyambutnya, mempersilakannya masuk ruang pemeriksaan.

Zina Bello adalah seorang juru rawat, penyuluh kesehatan, yang masih menyimpan keinginan untuk menjadi dokter. Namun bagi banyak kalangan LGBT di Timor, ia sudah dipanggil sebagai Dokter Zina -karena pengetahuan dan pengalamannya ihwal HIV dan AIDS.

Dalam sesi 'penyuluhan' itu mereka bertanya jawab beberapa belas menit, dalam bahasa Tetun.

"Pertama-tama yang dibicarakan, kehidupan seksualnya, dan terutama, sejauh apa dia tahu tentang kondom," kata Zina.

Lalu mengenai HIV/AIDS, tentang penularan dan pencegahannya, kemudian tentang penyakit menular seksual lain.

Sesudahnya dilakukan pengambilan darah untuk tes HIV.

"Mereka harus mengerti, HIV itu tidak bisa diketahui secara penampilan fisik. Harus melalui pemeriksaan darah," lanjut Zina. Namun ditambahkannya, tes HIV berlangsung sepenuhnya sukarela, tanpa paksaan.

Ia menjelaskan, jika hasil tes HIV itu positif, pasien akan dirujuk ke rumah sakit, dan diberikan penyuluhan serius dan menerus. Kalau hasilnya negatif, penyuluhan tetap akan diberikan: tentang pentingnya kondom dalam kehidupan seksual mereka.

"Kondom itu nomor satu, sebagai seks aman untuk mencegah HIV," tegas Zina Bello.

Tak sampai setengah jam, tes HIV sudah memberikan hasil bagi Rihanna: negatif. Ia bersorak lega, dan girang.

"Saya tahu tempat ini dari teman-teman yang sudah pernah ke sini," kata Rihanna kemudian. "Dan saya senang ke sini karena di sini yang memberikan konseling adalah seorang transgender, Zina. Dia melakukannya dengan baik. Jadi saya merasa aman di sini," tambahnya.

Klinik C4 itu memang menjadi rujukan utama bagi kalangan transgender dan gay di Timor Leste, karena penyuluhnya di sana -dokter, menurut julukan popular para pasiennya- adalah seorang transgender.

"Ada banyak klinik lain menawarkan layanan yang sama. Tapi mereka ragu. Karena kurang bisa terbuka pada dokter-dokter itu. Mereka kurang nyaman untuk membicarakan sesuatu yang dirahasiakan. Tapi dengan saya, mereka merasa nyaman," kata Zina.

"Di sini mereka merasa bebas, leluasa, karena ditangani oleh saya, sesama transgender, orang dari komunitas mereka sendiri. Jadi sebagai sesama transgender, bisa saling berbagi, saling tahu satu sama lain."

Zina Belo adalah satu dari dua transgender yang menjadi penyuluh kesehatan di Timor Leste. Satunya lagi bertugas di Baucau, sebuah kota sekitar 100 km dari Dili.



Dulu ada seorang transgender lain yang menjadi penyuluh, namun, kata Zina, sudah mengundurkan diri.

Zina sendiri, selain di klinik ini juga menjadi relawan di beberapa klinik lain, dan di organisasi penyuluhan HIV/AIDS yang dikelola kementerian kesehatan Timor Leste.

Klinik C4 didirikan tahun 2017, sebagai bagian dari CODIVA kepanjangan dari Coalition for diversity and action, koalisi untuk aksi keberagaman. CODIVA sudah terlebih dahulu berdiri sejak 2015 untuk memperjuangkan kesetaraan hak LGBT di Timor Leste.

Kesetaraan hak bagi LGBT dijamin konstitusi Timor Leste, pandangan tradisional di masyarakat Katolik yang kuat masih tidak sepenuhnya menerima LGBT secara positif.

Romiaty Barreto, pengelola klinik ini mengatakan, ia sendiri mengalami diskriminasi semacam itu beberapa tahun lalu, semasa ia masih bekerja sebagai seorang guru SMP.

"Saat itu, saya belum berpakaian sebagai perempuan. Tapi banyak rekan guru yang sering mengejek, mengapa perilaku saya seperti perempuan. Saya akhirnya tidak tahan, dan berhenti," Romy berkisah.

Namun keputusan itu membawa berkah tersendiri. Romy kemudian bertekad untuk bekerja di bidang yang membantu komunitas LGBT.

"Saya kemudian jadi relawan di beberapa organisasi yang dikelola Kementerian Kesehatan, yang programnya fokus pada komunitas (LGBT). Sudah lebih dari lima tahun," katanya.

Sampai kemudian ia bekerja di Codiva, dan mengelola klinik C4.

Yang membuatnya bahagia, sejak didirikan sampai sekarang, kliniknya mendapat sambutan baik,.

"Sama sekali tidak ada warga yang menentang, mereka mendukung semua," katanya berseri-seri.

Romi berkisah, sejak didirikan tahun 2017 hingga akhir Maret ini klinik yang dikelolanya sudah menangani lebih dari 210 orang.

"Jadi dari komunitas (LGBT) yang kunjung ke klinik sampai akhir bulan maret ini untuk akses test HIV itu, transgender ada 142, MSM (male having sex with man, atau gay) 57 orang, dan juga perempuan 12 orang."

"Dari 210 yang tes HIV, empat orang dinyatakan positif, yang lalu dirujuk ke rumah sakit, kata Romiyati pula.

Letak klinik yang agak tersembunyi di dalam kompleks ruko itu, jauh di bagian belakang, dengan teralis kayu dan tanpa papan nama memberikan rasa aman dan terlindung bagi kaum LGBT yang membutuhkan layanannya ,juga yang membutuhkan aktivitas dan pertemuan bersama sesama LGBT.

Itu yang dirasakan seorang perempuan transgender berusia 24 tahun, yang menggunakan nama Indonesia, Melani Putri.

"Bertemu dengan sesama komunitas di sini, membuat saya merasa bebas, senang, dan lebih percaya diri," katanya.

Dia baru saja lulus Fakultas Peternakan Universitas Nasional Timor Lorosae (UNTL), dan masih belum bekerja. dan sementara ini jadi relawan, antara lain dengan membagi-bagi selebaran tentang pendidikan seks dan HIV/AIDS.

Menurutnya, di lingkungan komunitasnya ia bisa berekspresi bebas, dengan mengenakan busana dan riasan yang dia inginkan.

"Tapi keluarga saya belum tahu. Biarlah nanti mereka tahu sendiri."

Menarik. Maka saya tanya, bagaimana caranya keluarga tahu dengan sendirinya.

"Ya saya akan membawa pasangan hidup saya ke keluarga saya," jawabnya sembari tersenyum, tersipu, namun menunjukkan keyakinan yang kuat..

Dalam kesempatan lain, suatu sore yang masih saja menyengat, saya menemui Melani, Pepy dan Romiyati yang sedang berkumpul bersama sejumlah anggota komunitas LGBT lain di sebuah salon sederhana di Komoro, hanya beberapa menit jalan kaki dari Bandara Dili.

Kebetulan sedang tak ada pelanggan di salon tata rambut itu. Orang-orang lebih sibuk membereskan ruangan, dan duduk-duduk santai.

Romiyati baru saja kembali dari Liquica, yang pada tahun 1999 pernah menjadi berita dalam peristiwa yang dikenal sebagai 'pembantaian Liquica.' Saat itu, menjelang referendum kemerdekaan, disebutkan bahwa sejumlah besar orang tewas di dalam sebuah gereja, yang diduga dilakukan oleh para milisi pro-Indonesia.

Romiyati datang ke kota kecil yang terletak sekitar 30km dari Dili itu untuk mengunjungi sebuah SMA, "membagikan selebaran pendidikan seks dan HIV, dan memperkenalkana klinik C4." Dan kepada teman-temannya sore itu ia berbagi kisah tentang perjalanan itu.

Bagaimana reaksi para siswa-siswi SMA, terhadapnya yang datang dengan identitas sebagai seorang transgender, tanya saya.

"Oh, mereka baik sekali sambutannya pada saya. Tidak ada yang mengolok-ngolok," jawab Romi, dengan muka berbinar.

Menurutnya, situasi komunitas LGBT sekarang di Timor Leste sudah jauh lebih baik dibanding beberapa tahun lalu.

"Dulu sering diejek orang. Sekarang pun masih ada juga, tapi sudah jauh lebih sedikit."

"Dan sekarang, komunitas transgender juga sudah lebih berani untuk mengenakan pakaian sebagai transgender perempuan, kalau dulu, masih takut-takut.

Keadaan ini, diakuinya, jauh lebih baik dibanding yang dialami kalangan LGBT di banyak negara lain, termasuk di Indonesia.

Ia mengatakan, komunitas transgender juga merasa leluasa untuk berkumpul di kafe tertentu di Dili, di hari tertentu, untuk bersantai. Tanpa harus kuatir digrebek.

"Di sini, tidak ada persekusi, atau ramai-ramai yang yang membubarkan kami. Paling-paling, masih ada yang mengejek penampilan kami. Tapi saya kasih pengertian, dan biasanya mereka menerima."

Ia bersyukur karena keberadaan mereka diakui oleh negara. Bahkan banyak di antara kalangan transgender, termasuk Romiyati sendiri, dilibatkan dalam berbagai program Kementerian Kesehatan.

"Kami dilibatkan bukan hanya untuk berbagi pengalaman atau ikut penyuluhan HIV/AIDS. Tapi juga untuk mempromosikan hak-hak sebagai LGBT yang setara dengan orang lain," kata Romiyati.

"Karena kami juga sama dengan yang lainnya: rakyat Timor Leste juga."

Sumber: http://www.bbc.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment