LGBT dalam Film, Propaganda atau Sekadar Karya?


Beberapa waktu terakhir, pemberitaan dipenuhi dengan kontroversi penayangan film terbaru Disney, Beauty and the Beast. Bukan karena skandal pemainnya, melainkan karena konten gay yang dimasukkan dalam film dongeng tersebut.

Konten gay yang dimaksud adalah sosok karakter LeFou yang dibuat memiliki hasrat terpendam kepada sang sahabat, Gaston.

Bill Condon, sutradara Beauty and the Beast mengatakan konten gay tersebut adalah yang pertama kali ada dalam sejarah Disney.

Dalam Beauty and the Beast, kemunculan karakteristik gay dalam LeFou muncul dalam beberapa adegan, tatapan, hingga percakapan meski tidak menjurus hingga tindakan kategori dewasa.

Banyak kritikus juga menganggap konten tersebut sangat ringan dan berjalan sangat singkat, total adegan yang disinyalir gay dari LeFou tidak sampai lima menit dari 129 menit panjang film tersebut.

Namun konten atau karakter gay di Beauty and the Beast ini mau tidak mau mengangkat isu lama, yaitu propaganda LGBT melalui film yang diyakini sebagian kalangan.

Terlepas dari niat keberadaan konten LGBT dalam sebuah film, karakter yang mewakili kelompok ini memang sudah ada sejak dahulu kala di industri hiburan. 

Beberapa karakter bahkan terkenal dan ikonis. Sebut saja kisah pasangan cowboy pria saling jatuh cinta yang dibintangi Jake Gyllenhaal dalam Brokeback Mountain (2005), atau yang lebih lawas ada Philadelphia (1993) yang menyoroti kelompok LGBT dan AIDS.

Bukan cuma Hollywood yang memiliki konten LGBT dalam film, Indonesia juga memiliki riwayat karakter kelompok ini. 

Film Arisan! (2003) dan Lovely Man (2011) pernah menampilkan kehidupan LGBT di tengah masyarakat Indonesia modern.

Mewakili sineas, sutradara Joko Anwar yang pernah membuat film dengan konten LGBT mengatakan tidak pernah ada niat khusus dari pembuat film untuk memasukkan konten tersebut.

Terlebih, di Indonesia khususnya, ada peraturan ketat terkait pornografi, sensor dan beragam pertimbangan tentang aneka isu sensitif.

Namun di sisi lain, pengamat sosial budaya Universitas Indonesia Devie Rahmawati menilai akan ada dampak yang ditimbulkan dari paparan konten tersebut pada masyarakat. 

Apalagi bila menyasar anak-anak yang dianggap masih memiliki jalan hidup panjang.

Sedangkan dari aspek pelegalan hak siar, Lembaga Sensor Film mengatakan penyensoran dan pengelompokan film akan menyesuaikan dengan konten yang tersedia. LSF pun tidak sungkan untuk memotong adegan yang dinilai bertentangan dengan peraturan dan norma.

Entah adalah sebuah propaganda atau bukan, keberadaan konten LGBT memang sudah ada sejah dahulu dan penerimaan akan hal itu sejatinya bergantung pada masing-masing penonton. 

Sumber: https://www.cnnindonesia.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment