Terakhir Paus ke Irlandia, LGBT adalah Tindak Kejahatan. Sekarang PM Irlandia Gay


Paus Francis terakhir kali mengunjungi Irlandia pada tahun 1979. Saat itu, negara Eropa tersebut masih sangat Katolik, LGBT dianggap sebagai tindak kejahatan. Sekarang, Irlandia dipimpin oleh seorang Perdana Menteri muda yang secara terbuka mengakui dirinya adalah bagian dari kelompok tersebut. Dan ia akan berbicara dengan pemimpin tertinggi Gereja Katolik yang tidak pernah mengakui pernikahan sesama jenis.

Di tahun 2015, ketika Leo Varadkar menjabat sebagai menteri kesehatan Irlandia, dia mengaku sebagai pria gay melalui radio nasional.

Saat itu Irlandia sedang mempersiapkan pemungutan suara referendum pernikahan sesama jenis, dan Varadkar mengatakan kepada pembawa acara radio bahwa seksualitasnya “bukanlah rahasia, tapi itu bukan sesuatu yang setiap orang harus tahu.”

Dia juga berkata, “Seksualitas saya bukan sesuatu yang mendefinisikan saya.”

Dua setengah tahun kemudian, Varadkar, yang ayahnya merupakan seorang imigran India, ditunjuk sebagai perdana menteri. Dia adalah pemimpin gay pertama di Irlandia, pemimpin pertama dari latar belakang minoritas dan, perdana menteri termuda negara itu—dia berusia 38 tahun saat ditunjuk sebagai perdana menteri.

Pada hari Sabtu (25/8), Varadkar menyambut Paus Fransiskus ke Irlandia, sebuah negara yang telah berubah secara radikal sejak kunjungan paus terakhir, pada tahun 1979. Pada saat itu, homoseksualitas masih dianggap kejahatan. Sekarang, perdana menteri negara itu gay.

Varadkar adalah contoh yang unik tentang bagaimana dulu negara kulit putih yang sangat Katolik ini sekarang menjadi negara yang semakin beragam dan hukumnya semakin sekuler. Irlandia adalah negara pertama yang melegalkan pernikahan sesama jenis melalui pemungutan suara populer, dan tahun ini, negara itu mencabut larangan aborsi.

Banyak yang menganggap kebijakan baru negara itu dan pergeseran demografinya sebagai bukti bahwa orang Irlandia bergerak semakin jauh dari Gereja Katolik.

Sehari sebelum kedatangan Paus Francis, Varadkar mengatakan gereja sebelumnya “memiliki terlalu banyak tempat dominan di masyarakat kita.”

Dan dalam sambutannya di depan paus pada hari Sabtu (25/8), perdana menteri tersebut mengatakan Irlandia telah “mengadakan pemungutan suara di Parlemen kami dan referendum akan memodernisasi undang-undang kami.”

Dia mengatakan kebijakan baru itu mencerminkan pemahaman negara bahwa “pernikahan tidak selalu berhasil, bahwa wanita harus membuat keputusan sendiri, dan bahwa keluarga datang dalam berbagai bentuk indah termasuk yang dipimpin oleh kakek-nenek, orang tua tunggal atau pasangan sesama jenis atau orang tua yang sudah bercerai dan menikah lagi.”

Brian Finnegan, editor Ireland Gay Community News, mengatakan terakhir kali seorang paus mengunjungi negara tersebut, 39 tahun yang lalu, para pemimpin Irlandia lebih cenderung mengatakan: “‘Kami tidak akan memiliki kontrasepsi atau mengizinkan orang bercerai atau bahkan berbicara tentang homoseksualitas,’ dan ‘terima kasih Anda telah berkunjung, kami mencintai Anda, dan kami mencintai gereja.’”

“Tidak ada pertahanan sama sekali,” katanya.

Hal itu membuat pertemuan Varadkar dengan paus kali ini menjadi pertemuan yang jauh lebih simbolis. Bagi banyak orang, seorang pemimpin homoseksual dari sebuah negara yang sangat Katolik yang bertemu dengan pemimpin Gereja Katolik–sebuah lembaga yang tidak mengakui pernikahan sesama jenis–tidak pernah terpikirkan sebelumnya.

“Ini cukup memotivasi, melihat pemimpin gay dari sebuah negara berdiri di depan komunitas gay di panggung Dublin Pride dan mengatakan kami sah dan kami berharga dan kami bangga dengan siapa kami mengingat sejarah panjang penindasan,” kata Finnegan.

Dalam sebuah wawancara dengan berita RTE, Jumat (24/8), Varadkar mengatakan dia berharap untuk berbicara dengan paus tentang isu-isu termasuk kekerasan seksual ulama dan pengecualian komunitas LGBT dari gereja. Varadkar mengadakan pertemuan singkat dengan paus menyusul pernyataannya yang lebih terbuka pada hari Sabtu (25/8).

Juru bicaranya mengatakan kepada Irish Times bahwa dia “berkata kepada paus bahwa ada banyak orang di sini yang beriman di dalam hati mereka tetapi merasa dikucilkan dan diasingkan dari gereja karena apa yang telah terjadi.”

Pada hari Sabtu itu, juru kampanye korban pelecehan seksual mengatakan, Paus tidak melakukan sesuatu yang cukup signifikan dalam mengambil tanggung jawab atas peran Vatikan dalam menutupi pelecehan oleh para pendeta.

Tiernan Brady, direktur Equal Future, kampanye advokasi LGBT, mengatakan dia tidak berharap bahwa satu pertemuan singkat antara Varadkar dan Paus Francis akan banyak mengubah sikap paus pada kesetaraan perkawinan dan isu-isu LGBT lainnya.

Tetapi “ketika seseorang berdiri dan berbicara tentang diri mereka sendiri, itu akan berdampak pada pandangan yang mereka miliki,” kata Brady. “Momen ketika perdana menteri gay kami berbicara dengan paus adalah momen fantastis yang menunjukkan realitas kehidupan di Irlandia.”

Dan di Irlandia modern, Brady mengatakan, “dalam kehidupan sehari-hari, menjadi LGBT bukanlah sesuatu yang luar biasa.”

“Kami benar-benar biasa saja memiliki perdana menteri gay,” katanya. Dan hal itu saja menunjukkan betapa Irlandia telah berubah.

Sumber: https://www.matamatapolitik.com/
Share on Google Plus

About Blued Indonesia

    Blogger Comment
    Facebook Comment